MITIGASI BENCANA
Pendidikan mitigasi
Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk wilayah Pacific ring of fire (deretan gunung berapi Pasifik), juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi tiga gerakan, yaitu gerakan sistem Sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran Asia Timur, dan gerakan sirkum Australia. Faktor-faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi.
Bayang-bayang bencana selalu menghantui setiap warga yang tinggal di wilayah tersebut, karena bisa terjadi setiap saat dan kapan saja. Maka, perlu kiranya ada penataan atau perencanaan tentang bencana beserta penanggulangannya yang terarah dan terpadu, karena penanggulangan yang dilakukan selama ini belum terarah, sistematis, dan terencana. Diperlukan suatu upaya pengurangan risiko bencana yang berbasis komunitas pendidikan sebagai salah satu usaha untuk mengurangi risiko bencana. Salah satunya dengan memasukkan materi pelajaran tentang gempa dan tsunami sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap siswa di semua tingkatan.
Kurikulum pendidikan berbasis mitigasi bencana ini masih tersisih dari sistem pendidikan nasional kita. Untuk menelaah masalah ini, perlu kiranya dikaji kembali visi dan misi pendidikan nasional kita, terutama di wilayah-wilayah yang secara geografi rentan terhadap bencana gempa dan tsunami.
Masalah kerentanan terhadap bencana ini haruslah menjadi fokus utama pemerintah, untuk mengubah keadaan bencana gempa dan tsunami dari situasi kerentanan tinggi ke kapasitas rendah. Penting kita melakukan assesment dan mengolaborasi kemampuan lokal sebagai dasar utama dari aktivitas pengelolaan bencana.
Selama ini, masalah bencana tidak pernah ditangani menyeluruh. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya tidak adanya kebijakan pemerintah yang integral sehingga bencana ditangani secara parsial, bahkan antardepartemen sering tidak terjalin koordinasi. Lebih parah lagi, bencana hanya ditangani dengan pendekatan tanggap darurat. Pascabencana, rakyat dibiarkan dengan penderitaan yang menimpanya.
Kasus gempa dan tsunami Aceh menjadi bukti nyata, rakyat dibiarkan beberapa bulan tanpa aktivitas dan hidup di penampungan. Selain itu, pemerintah tidak hanya lambat. Namun, juga jarang menyertakan masyarakat untuk membahas persoalan yang dibutuhkan dan yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, faktor analisis kerentanan juga kurang diperhatikan. Korban seharusnya bisa diminimalisasi apabila ada analisis kerentanan yang disertai kehati-hatian dini, sehingga rakyat terhindar bila terjadi bencana. Banyak pengalaman berharga yang dapat diambil dari kejadian bencana alam, mulai dari cara penanganan korban yang selamat sampai penguburan korban yang meninggal. Saat itu, penanganannya relatif lamban dan saling melemparkan tanggung jawab. Hal ini terjadi karena belum ada ketentuan mengenai siapa atau lembaga mana yang paling berkompeten melakukan tindakan kontigensi.
Berbasiskan masyarakat
Perlu kiranya dikaji tentang rencana pembentukan organisasi kebencanaan di tingkat kecamatan dan kota. Lembaga kontigensi harus segera dibentuk, sebagai perintah UU No. 24/2007, karena posisi geografis Indonesia yang amat rentan bencana alam. Berdasarkan semangat tersebut, pemerintah daerah harus membentuk badan penanggulangan bencana daerah. Selain itu, komitmen antarpemerintah kabupaten/kota untuk membentuk lembaga kontigensi mitigasi bencana di daerahnya masing-masing.
Petaka di Aceh yang skala kerusakannya amat mengejutkan dunia, semestinya menjadi pelajaran tentang betapa tak berdayanya suatu negara jika tak memiliki persiapan apa-apa. Oleh karena itu, baiknya kita berusaha hidup menyesuaikan diri. Jepang dan AS adalah contoh negara yang penduduknya telah memahami benar dan siap menghadapi bencana gempa dan tsunami. Itu sebagai kompensasi dari trauma akibat tsunami yang menerjang Onagawa dan Hawaii pada 1960.
Semua upaya penanggulangan itu akan terpulang pada kepedulian masyarakat dan program pemerintah dalam mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan. Masyarakat penting diberi pengetahuan tentang tanda-tanda kedatangan gelombang tsunami dan cara menyelamatkan diri. Bagi pemerintah setempat, perlu kiranya segera menetapkan tata ruang yang aman dari serangan gempa dan tsunami.
Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk wilayah Pacific ring of fire (deretan gunung berapi Pasifik), juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi tiga gerakan, yaitu gerakan sistem Sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran Asia Timur, dan gerakan sirkum Australia. Faktor-faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi.
Bayang-bayang bencana selalu menghantui setiap warga yang tinggal di wilayah tersebut, karena bisa terjadi setiap saat dan kapan saja. Maka, perlu kiranya ada penataan atau perencanaan tentang bencana beserta penanggulangannya yang terarah dan terpadu, karena penanggulangan yang dilakukan selama ini belum terarah, sistematis, dan terencana. Diperlukan suatu upaya pengurangan risiko bencana yang berbasis komunitas pendidikan sebagai salah satu usaha untuk mengurangi risiko bencana. Salah satunya dengan memasukkan materi pelajaran tentang gempa dan tsunami sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap siswa di semua tingkatan.
Kurikulum pendidikan berbasis mitigasi bencana ini masih tersisih dari sistem pendidikan nasional kita. Untuk menelaah masalah ini, perlu kiranya dikaji kembali visi dan misi pendidikan nasional kita, terutama di wilayah-wilayah yang secara geografi rentan terhadap bencana gempa dan tsunami.
Masalah kerentanan terhadap bencana ini haruslah menjadi fokus utama pemerintah, untuk mengubah keadaan bencana gempa dan tsunami dari situasi kerentanan tinggi ke kapasitas rendah. Penting kita melakukan assesment dan mengolaborasi kemampuan lokal sebagai dasar utama dari aktivitas pengelolaan bencana.
Selama ini, masalah bencana tidak pernah ditangani menyeluruh. Hal ini disebabkan beberapa hal, di antaranya tidak adanya kebijakan pemerintah yang integral sehingga bencana ditangani secara parsial, bahkan antardepartemen sering tidak terjalin koordinasi. Lebih parah lagi, bencana hanya ditangani dengan pendekatan tanggap darurat. Pascabencana, rakyat dibiarkan dengan penderitaan yang menimpanya.
Kasus gempa dan tsunami Aceh menjadi bukti nyata, rakyat dibiarkan beberapa bulan tanpa aktivitas dan hidup di penampungan. Selain itu, pemerintah tidak hanya lambat. Namun, juga jarang menyertakan masyarakat untuk membahas persoalan yang dibutuhkan dan yang seharusnya dilakukan.
Selain itu, faktor analisis kerentanan juga kurang diperhatikan. Korban seharusnya bisa diminimalisasi apabila ada analisis kerentanan yang disertai kehati-hatian dini, sehingga rakyat terhindar bila terjadi bencana. Banyak pengalaman berharga yang dapat diambil dari kejadian bencana alam, mulai dari cara penanganan korban yang selamat sampai penguburan korban yang meninggal. Saat itu, penanganannya relatif lamban dan saling melemparkan tanggung jawab. Hal ini terjadi karena belum ada ketentuan mengenai siapa atau lembaga mana yang paling berkompeten melakukan tindakan kontigensi.
Berbasiskan masyarakat
Perlu kiranya dikaji tentang rencana pembentukan organisasi kebencanaan di tingkat kecamatan dan kota. Lembaga kontigensi harus segera dibentuk, sebagai perintah UU No. 24/2007, karena posisi geografis Indonesia yang amat rentan bencana alam. Berdasarkan semangat tersebut, pemerintah daerah harus membentuk badan penanggulangan bencana daerah. Selain itu, komitmen antarpemerintah kabupaten/kota untuk membentuk lembaga kontigensi mitigasi bencana di daerahnya masing-masing.
Petaka di Aceh yang skala kerusakannya amat mengejutkan dunia, semestinya menjadi pelajaran tentang betapa tak berdayanya suatu negara jika tak memiliki persiapan apa-apa. Oleh karena itu, baiknya kita berusaha hidup menyesuaikan diri. Jepang dan AS adalah contoh negara yang penduduknya telah memahami benar dan siap menghadapi bencana gempa dan tsunami. Itu sebagai kompensasi dari trauma akibat tsunami yang menerjang Onagawa dan Hawaii pada 1960.
Semua upaya penanggulangan itu akan terpulang pada kepedulian masyarakat dan program pemerintah dalam mengurangi dampak bencana yang ditimbulkan. Masyarakat penting diberi pengetahuan tentang tanda-tanda kedatangan gelombang tsunami dan cara menyelamatkan diri. Bagi pemerintah setempat, perlu kiranya segera menetapkan tata ruang yang aman dari serangan gempa dan tsunami.
Penulis: staf pengajar mata kuliah hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Darusallam, Banda Aceh, sedang mengambil Program Doktor pada Universitas Padjadjaran di Bidang Kajian Utama Hukum Internasional
Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Senin 07 September 2009
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda