Masa Depan Itu Sekarang

Landas tujuan adalah ke-Indonesia-an karena pendidikan itu untuk manusia Indonesia yang akan membangun Indonesia. Peserta didik membawa bekal multikultural berbobot nilai luhur agama, watak etnik, gelegar bahasa-ibu dan budi bahasa daerah, yang tidak dapat dinafikan. Karena itu, proses pendidikan adalah olahan luhur, perlu kesediaan semua pihak menjiwainya. Produk pendidikan harus mampu mengetengahkan keunggulan nalar daripada biseps dan terlatih berbahasa sopan dan rasional saat mempertentangkan atau menerima argumen. Jiwa zaman menjadi penting untuk disertakan dalam perhitungan karena masa depan mempunyai nuansa berbeda. Tantangan Anak didik tahun 2013 akan menghadapi kenaikan jumlah penduduk dan usia lanjut secara progresif, internasionalisasi yang membutuhkan penguasaan lebih dari satu bahasa internasional, terhapusnya batas geografi dan ranah ekonomi konvensional, kesadaran lingkungan, hak asasi dan kewajiban dasar manusiawi, serta perubahan nilai dan pandangan kemasyarakatan. Pendidikan sains pemerdekaan tak lupa mengisi kemampuan berbahasa sebagai sarana komunikasi antarmanusia, antarwarga, dan antarbangsa, dengan penekanan pada kemampuan berkomunikasi, bukan sekadar bicara. Kita bersyukur memiliki lingua franca, bahasa Indonesia. Inilah perekat elemen kebangsaan yang mampu menyampaikan pesan kejiwaan dan spiritual. Dalam perjalanan hidup, penulis menemui ungkapan bijak bahasa Jawa ajining diri mergo ukoro, yang artinya ’citra dan harga diri kita diukur dari tutur kata yang dikeluarkan’. Kalimat bersayap ini kongruen dengan adagium Whitehead, yang menyebutkan bahasa sebagai inkarnasi mental suatu bangsa. Penguasaan bahasa tulis maupun tutur akan membebaskan masyarakat dari tindak kekerasan fisik provokatif. Menguasai bahasa dengan baik diharapkan dapat menyampaikan buah pikiran, induktif maupun deduktif, untuk beradu pendapat. Pengajaran bahasa bertujuan menjadikan peserta didik mengenali kebutuhan sosial dan masalah negara secara dewasa, mengasimilasikan atau membandingkan dengan kebutuhan sendiri, ikut mematangkan intelektual, menjadi pisau bedah diagnostik untuk memahami teks dalam konteks. Skema Pendidikan Nasional sudah dipakukan, yakni Indonesia yang berkultur jamak. Penalaran, berpikir logis, bebas tidak dogmatik, perlu diobori untuk memetakan jalan pembentukan manusia berkarakter mandiri, mampu menanggalkan ke-aku- an dan mentransformasinya menjadi ke-kita-an. Itikad seperti itu semestinya tecermin dalam falsafah pendidikan dan ter-reka dalam wujud kurikulum yang membentuk penalaran. Pemilahan baik dan jelek bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh kepekaan dan kejernihan pikir masyarakat. Bambang Hidayat Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda