Prahara 1998, Awal Mula Reformasi Indonesia

Puncak dari demonstrasi tersebut adalah terbunuhnya empat mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 karena peluru petugas. Kerusuhan tidak dapat dihindari sebagai akibat dari terbunuhnya agen-agen perubahan tersebut dan pada puncaknya 13, 14 dan 15 Mei 1998 meletuslah kerusuhan masal di Jakarta yang disusul kerusuhan di daerah-daerah lain di Indonesia.

Penjarahan  dan pembakaran berbagai fasilitas umum terjadi dimana-mana, pembunuhan yang disertai tindakan yang biadab seperti pemerkosaan terhadap etnis tertentu terjadi diberbagai daerah.  Keadaan di ibukota Negara Jakarta mencekam begitu juga yang terjadi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Salah satu tuntutan yang kemudian muncul pada saat itu adalah turunkan Soeharto dan adili para kroni-kroninya yang dianggap telah bersalah kepada rakyat.

Kerusuhan yang berlangsung beberapa hari tersebut telah banyak memakan korban jiwa dan materi. Bila dibandingkan dengan kerusuhan-kerusuhan sebelumnya kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam kerusuhan tersebut, menurut TPGF, korban meninggal sebanyak 1.217 orang, luka-luka 91 orang, dan hilang 31 orang (Fadli Zon, 2009).

Menghadapi demonstrasi yang bertubi-tubi dan kerusuhan yang tidak terkendali atas desakan dari berbagai elemen masyarakat termasuk tokoh-tokoh politik deklarator Ciganjur saat itu seperti Gus Dur, Amien Rais, Megawati Soekarno Putri, Sultan Hamengkubuwono dan lainnya mendesak Presiden Soeharto untuk segera turun dari jabatannya guna menghindari kerusuhan yang lebih besar, Ketua MPR Harmoko yang dua bulan sebelumnya meminta Soeharto untuk kembali memimpin Republik Indonesia karena alasan bahwa seluruh rakyat Indonesia masih menginginkan Soeharto untuk memimpin Indonesia, pada saat itu kembali menarik ucapan bahwa ternyata rakyat Indonesia sudah tidak menginginkan Soeharto untuk memimpin Indonesia dan mengharap Presiden Soeharto segera lengser keprabon.

Sebenarnya pendukung Soeharto saat itu sangat besar, namun untuk menghindari adanya korban jiwa dan materi yang semakin banyak, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 Presiden Soeharto membacakan pidato tentang pengunduran dirinya dan secara konstitusional memberikan jabatan presiden kepada  Wakil Presiden BJ Habibie untuk melanjutkan tampuk kekuasaan di Indonesia.

Dari pemerintahan Presiden Habibie inilah kemudian reformasi digulirkan dengan agenda-agenda perbaikan  di berbagai bidang kehidupan beebangsa baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan maupun pertahanan dan keamanan.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda