Memahami Aspirasi Rakyat

Para pejabat negeri ini, baik yang berada di Jakarta maupun di daerah bahkan desa-desa juga sangat fasih memanipulasi mantera rakyat. Kita pasti sepakat bahwa setiap kebijakan harus sesuai dengan aspirasi rakyat. Menjadi aneh bila, sekelompok orang yang tidak setuju dengan sebuah usulan kebijakan tiba-tiba mengatakan bahwa usulan kebijakan itu tidak sesuai aspirasi rakyat. Lebih aneh lagi jika ada segelintir pemimpin yang merasa paling mewakili suara rakyat. Apakah duapuluh ribu atau bahkan seratus ribu orang yang melakukan gerakan sosial (misalnya dengan demonstrasi di Kantor Gubernur) bisa dikatakan mewakili rakyat suatu daerah yang berpenduduk tiga juta orang? Bisakah sekumpulan kepala desa yang tergabung dalam sebuah asosiasi dianggap mewakili rakyat sedangkan suara kepala desa pimpinan asosiasi tersebut belum tentu mewakili suara para kepala desa lain sebagai anggota asosiasi? Bagaimana metode atau cara yang tepat untuk memahami kehendak rakyat bukanlah perkara sederhana. Dalam teori pilihan rasional (rational choice theory) dikenal adanya preferensi-preferensi atau keinginan paling dominan yang muncul dari warga masyarakat. Ketika ditanya tentang apa yang paling diinginkan, sekelompok warga mungkin akan mengatakan mereka ingin di daerahnya dibangun pasar, sementara yang lain menginginkan adanya sekolah, atau puskesmas, atau bahkan pabrik elektronik yang bisa menyerap tenaga kerja. Pilihan-pilihan tersebut tentulah didasarkan pada alasan rasional masing-masing. Karena itu dibutuhkan mekanisme dan keahlian untuk menentukan, pilihan kebijakan apakah yang paling tepat dilakukan sesuai dengan preferensi warga masyarakat. Di bidang politik dan pemerintahan, dikenal beberapa proses pengambilan keputusan yang bisa dianggap paling mewakili rakyat. Untuk memilih wakil-wakil rakyat digunakan mekanisme pemilihan umum. Untuk menentukan siapa paling cocok menjadi kepala daerah dilaksanakan pilkada langsung yang sekarang populer sekaligus kontroversial. Juga dikenal mekanisme referendum sebagai metode bertanya kepada seluruh rakyat, apakah rakyat akan memilih alternatif A atau alternatif B. Dalam perumusan kebijakan di daerah, di Jawa kita mengenal model rembug desa, yang kemudian berlanjut dalam forum Musrenbang sampai ke tingkat kabupaten dan provinsi. Di Papua dikenal mekanisme serupa melalui perbincangan lisan di dalam Honai (rumah adat Papua gunung) dan komunitas adat lain yang kemudian berkembang menjadi pertemuan tiga tungku melibatkan lembaga adat, agama, dan pemerintah daerah. Proses dan metode serupa juga terjadi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, NTT dan seluruh daerah di Indonesia. Singkatnya, ada mekanisme yang secara nyata sudah tertata untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, memahami aspirasi rakyat dalam proses perumusan kebijakan tidak bisa hanya dilakukan dengan klaim-klaim atau pengakuan sepihak oleh mereka yang merasa menjadi pimpinan formal di lingkungannya. Sebuah usulan kebijakan yang disusun berdasarkan masukan dari proses penjaringan aspirasi masyarakat, dengan demikian, tidak bisa begitu saja dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat; semata-mata karena tidak sesuai dengan keinginan sekelompok elite dengan kepentingan tertentu. Tentu saja usulan kebijakan tersebut juga tidak bisa dianggap mutlak mewaliki seratus persen keinginan rakyat. Itu semua terjadi karena proses dan metode dalam memahami dan menyerap aspirasi rakyat sangat berpengaruh terhadap hasil berupa usulan kebijakan tersebut. Secara umum dikenal tiga metode untuk memahami aspirasi rakyat; berdasar luas lingkup ruang partisipasi, jenis komunikasi, dan relevansi antara aspirasi dengan kebijakan (Archon Fung, 2006). Pertama, luas lingkup partisipasi akan menentukan siapa saja yang berhak menyalurkan aspirasinya untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Terdapat lima model dasar yang membedakan luasnya ruang partisipasi bagi penyaluran aspirasi rakyat. Kesatu, adalah self selected, yaitu mekanisme yang sepenuhnya membebaskan masyarakat untuk menyalurkan aspiransinya atau tidak. Kedua, melalui rekrutmen terseleksi, yaitu hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan saja yang memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga random selection yang juga sering dikenal dengan teknik polling, yaitu penyerapan aspirasi masyarakat dengan memilih secara acak beberapa individu yang dianggap mewakili masing-masing komunitas. Keempat  adalah lay stakeholders, yaitu proses penyerapan aspirasi yang melibatkan beberapa warga negara yang secara sukarela mau bekerja tanpa dibayar. Sekelompok warga diberi kepercayaan untuk memikirkan atau menangani suatu kebijakan tertentu. Kita sudah mengenal prinsip penyaluran aspirasi semacam ini, misalnya melalui Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Sedangkan yang kelima adalah professional stakeholders, yaitu pembuatan kebijakan publik yang melibatkan tenaga-tenaga profesional yang digaji atau diberi honorarium. Asumsinya, tenaga-tenaga profesional ini memiliki kapasitas menemukan solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Metode kedua adalah dengan melihat jenis komunikasi yang terjadi antara pemerintah dengan warganya, apakah satu arah atau timbal balik. Model komunikasi timbal balik memberikan ruang yang lebih luas bagi proses penyerapan aspirasi yang lebih berkualitas. Sementera metode ketiga adalah dengan melihat relevansi antara perkembangan aspirasi dengan substansi kebijakan. Semakin relevan produk kebijakan yang dihasilkan dengan persoalan riil yang berkembang di masyarakat, maka proses penyerapan aspirasi yang terjadi di masyarakat bisa dikatakan semakin berkualitas. Terlepas dari ketiga metode di atas, kita diingatkan bahwa peningkatan kualitas partisipasi rakyat menjadi agenda penting yang harus disiapkan dalam proses penyusunan kebijakan. Perlu dipikirkan adanya mekanisme paling efisien yang mampu menjamin sebanyak mungkin warga masyarakat bisa memberikan pendapatnya dalam proses perumusan kebijakan. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi jika proses politik yang dijalankan oleh wakil-wakil politik pada suatu saat mengalami defisiensi atau penurunan kualitas. Sebagaimana kita ketahui, wakil-wakil politik formal tidak sedikit yang memiliki kekurangan pada sisi kapasitas, kepentingan, pengetahuan, pengalaman, dan lain-lainnya. Demikian juga, pemimpin-pemimpin formal baik yang dipilih maupun diangkat seringkali sudah mengalami proses penurunan sensitifitas terhadap kebutuhan rakyatnya. Jadi, marilah kita bersama-sama memahami aspirasi rakyat secara baik. Metode mana yang akan dipilih sangat tergantung pada tujuan dan niat baik kita.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda