Hari Otonomi Daerah dan Realitas

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undang. Berbicara otoda, berarti bersinggungan dengan daerah otonom. Daerah otonom disini dibagi atas dua (UU No. 32 Tahun 2004) , yaitu daerah otonomi terbatas dalam hal ini pemerintah provinsi dan daerah otonomi luas pada pemerintah Kabupaten/Kota. Perbedaan luas dan terbatas ini terletak pada kewenangannya. Kewenangan daerah mencakup 31 urusan pemerintahan umum, disinilah terjadi permasalahan karna kaburnya tugas dari provinsi akibatnya bupati/walikota cenderung tutup mata dengan pemerintah provinsi, kekaburan ini pun sekarang sedang dibahas untuk dilakukan revisi terhadap UU No. 32 Tahun 2004 karena kekaburan hirarki.

 

Pilkada langsung yang diamantakan UU tersebut juga menjadi gelinding panas karena dianggap tidak efisien. Hampir 500 kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia sekarang melaksanakan pilkada langsung. Jelas sangat tidak efisien dan menghabiskan uang negara. Kita ambil contoh Provinsi Sumatera Utara, dari penuturan ketua KPU sumut, biaya untuk penyelenggaraan pilkada di kabupaten/kota berkisar antara 5-10 miliar. Jika nominal digeneralisasi dikalikan dengan 500 kabupaten/kota, hasilnya adalah 2,5- 5 triliun rupiah, itupun belum termasuk uang yang digelontorkan si calon selama kampanye dan dana pilkada provinsi . untuk pilgub Sumut 2008, dianggarkan dana sekitar 382 miliar, jika kembali kita generalisasi dikalikan 33 provinsi maka hasinya adalah 12,6 triliun, ya kalau keluarannya berkualitas dan membawa kemajuan sih tidak masalah. Akan tetapi kenyataannya nol besar, banyak terjadi kekacauan pilkada, seperti di jawa timur.

 

Banyaknya calon kepala daerah yang tidak berkualitas menjadi PR besar bagi pemerintah. Sebut saja masalah yang mencuat akhir-akhir ini tentang pencalonan julia perez di pacitan. Mengutip perkataan Mendagri yang mengharuskan calon KDH berakal budi, atau bebas dari zina yang berkembang, jelas menunjukkan kelabakan pemerintah dalam menahan arus calon KDH yang tidak berkompeten karena jika berani menyinggung kata zina berarti harus berani meilhanya secara terminologi dan harfiah. Zina dalam islam bisa zina hati, pikiran dan mata. Zina pikiran dan hati jelas sulit dinilai. Jadi menurut saya pemerintah tidak perlu bersusah payah, cukup dibuat persyaratan yang konkrit, selesai masalah.

 

Pemekaran wilayah yang menjamur dimana-mana juga menjadi hal yang mencuat. Kematian ketua DPRD Sumatera Utara karena tuntutan pemekaran wilayah menjadi modal untuk mempertanyakan, ada apa dengan otonomi daerah. Hanya gorontalo, jembrana, sragen, klaten yang mampu memanfaatkan otonomi daerah secara baik, sebaliknya hampir 50 % daerah tertinggal adalah daerah pemekaran (data 2007). Kita juga disuguhkan kemirisan, di papua ada beberapa kabupaten/kota yang luas wilayah dan jumlah penduduknya tak lebih dari sebuah kecamatan. Seakan-akan pemerintah pusat kehilangan tangan untuk mengawasi pemekaran wilayah ini. Saya pun berspekulasi bahwa ada kepentingan politis dibalik pemekaran wilayah ini apalagi papua adalah daerah yang mendapatkan dana perimbangan terbesar serta ladang uang.

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda