Refleksi Hari Konstitusi RI
Dengan demikian, maka konstitusi dapat dikatakan sebagai dokumen
nasional yang bersifat mulia dan nasional juga sekaligus sebagai
dokumen hukum dan dokumen politik. Isinya kerangka dasar, susunan,
fungsi, dan hak-hak lembaga negara, pemerintah hubungan antara negara
dan warganya serta pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Bangsa kita boleh berbangga dengan membentuk konstitusi sesuai dengan kultur bangsa. Maka, tidak heran pada tanggal 15 juli 1945, Ir. Soekarno sebagai penggali Pancasila dalam pidatonya di depan BPUPKI menyatakan, “keberanian menunjukkan bahwa kita hanya “membebek” kepada contoh-contoh UUD negara lain, tetapi membuat sendiri UUD yang baru yang berisi kefahaman keadilan yang menentang individualism dan liberalism, yang berjiwa kekeluargaan dan gotong royong”.
Mengawal konstitusi
Konstitusi sebagai landasan dan hukum utama haruslah mendapat pengawalan, hal ini dimaksudkan agar konstitusi tidak dijadikan sebagai wahana bagi para pihak yang ingin berkuasa. Tetapi menjadikan konstitusi sebagai landasan untuk menuwujudkan cita-cita leluhur bangsa. Salah satu bentuk pengawalan terhadap konstitusi yakni melakukan perubahan (amandemen) terhadap naskah yang tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Oleh sebabnya, terjadinya kediktatoran di masa lalu adalah bentuk kelemahan sistim hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti.
Dengan adanya perubahan konstitusi, diharapkan konstitusi dapat memenuhi kehendak, hasrat, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki konstitusi tersebut. Perubahan konstitusi juga didasari oleh pernyataan salah satu pendiri negara kita, Ir. Soekarno sebagai Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau menyatakan “….bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
MPR sebagai lembaga yang berwenang telah berhasil melakukuan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat UUD 1945 mencakup subtansi yang sangat luas dan mendasar. Jumlah ketentuan yang dalam UUD 1945 proklamasi tercatat ada 71 butir ketentuan yang dirumuskan dalam 37 Pasal. Perumusan ketentuan yang diwarisi dari tahun 1945 itu, dengan perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat diubah dan ditambah, sehingga ketentuan asli yang tidak mengalami perubahan hanya berjumlah 25 butir saja.
Sedangkan 46 butir lainnya diubah dan ditambah dengan ketentuan-ketentuan baru sehingga seluruhnya menjadi berjumlah 199 butir ketentuan. Dengan demikian, terdapat 174 ketentuan baru yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang apabila dibandingkan dengan 25 butir yang tidak mengalami perubahan, berarti perubahan UUD 1945 meliputi lebih dari 300 % isi UUD 1945.
Selama dilakukannya amandemen sampai keempat kalinya, UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia . Salah satu yang paling mendasar adalah tidak dijadikannya lagi MPR sebagai lembaga superior yang tertinggi, melainkan semua lembaga sederajat dalam sistim Check And Balances dengan menganut pola Distribution Of Power di bawah UUD 1945.
Kemudian diikutsertakannya rakyat secara langsung dalam memilih para pemimpin bangsa seperti presiden dan wakil presiden, serta pejabat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dalam sistim Pemilu dan Pilkada.
Amandemen ke-5 UUD 1945 ?
Akan tetapi, walaupun telah dilakukan amandemen sampai tahap ke-4 pada tahun 2002. UUD 1945 masih perlu untuk dilakukan amandemen ke-5. Hal ini mengingat masih terdapat keganjalan dan kebobrokannya subtansi UUD 1945 sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila kita mencermati memang UUD 1945 telah mengalami kerancuan yang dapat menghambat kesejahteraan rakyat Indonesia . Hal ini dapat kita lihat dalam subtansi Pembukaan serta Batang Tubuh UUD 1945.
Dalam subtansi batang tubuh UUD 1945 mengalami ketimpangan sebab tidak tercantumkannya Bab IV dalam subtansi Batang Tubuh tersebut. Bab IV dihapus dalam amandemen ke-4 yang dahulu menjelaskan keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai Lembaga Tinggi Negara dengan tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagai kepala Negara dan Kepala penyelenggara pemerintahan Indonesia .
Dengan dihapuskannya DPA, maka lembaga konsultatif tersebut telah berganti nama serta kedudukan yakni dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang berkedudukan di dalam Bab III tentang Pemerintahan Negara pada Pasal 16 tersebut. Dengan di pindahkannya kedudukan lembaga konsultatif Wantimpres ke dalam Bab III, maka dengan ini otomatis Bab IV kehilangan konsep yang jelas dan tidak dimuat dalam subtansi UUD 1945. Dalam perkembangannya setelah Bab III tentang Pemerintahan Negara kemudian diikuti dengan Bab V tentang Menteri Negara dan seterusnya. Hal ini dapat berakibat hilangnya kewibawaan dan kerancuan konsititusi tertulis Indonesia .
Pada Bab V tentang Menteri Negara pada Pasal 17 ayat (3) Menyebutkan “setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Hal ini dapat diartikan bahwa seorang Menteri hanya dapat menjabat satu bidang kementrian yang dipimpinnya. Walaupun konstitusi menjelaskan demikian, sangat berbeda dengan realita yang ada dalam pelaksanaan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Presiden selaku kepala pemerintahan. Pada saat yang lalu ada saja satu menteri membidangi lebih dari satu kursi jabatan yang dipegangnya.
Sebaiknya para anggota legislatif yang membahas amandemen ke-V UUD 1945 harus membuat aturan yang melarang pejabat negara merangkap jabatan lebih dari satu jabatan yang ia pegang. Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan serta memaksimalkan kinerja para pejabat negara tersebut.
Kemudian dari pada itu banyak terdapat makna yang luas atau dapat di interpretasikan ke dalam makna yang bermuatan politis terhadap tekstual UUD 1945. Pada Bab XIV tentang Perekonomian National dan Kesejahteraan Sosial Pasal 34 ayat (5) menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata “dipelihara” tersebut dapat menimbulkan interpretasi berbeda dan tentunya sangat keliru yang dapat menghambat pertumbuhan perekonomian suatu negara, yakni kata tersebut dapat bermakna bahwa negara terus akan memperbanyak (baca:menambah) anak yatim dan orang-orang terlantar bukan pada yang semestinya yakni menekan agar tidak bertambah banyak.
Pada saat ini permasalahan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar semakin banyak terutama untuk daerah-daerah perkotaan, bahkan setiap diperempatan trafick light dan jalan-jalan masih banyaknya para pengemis yeng meminta belas kasihan para pengemudi kendaraan bermotor dan orang-orang yang menghampirinya, mereka secara tegas dapat disebut sebagai anak-anak terlantar yang selayaknya pada usia mereka haruslah mengenyam pendidikan formal.
Negara Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi haruslah memberikan tempat yang selayaknya pada mereka. Kata yang terdapat di dalam subtansi tersebut yakni “dipelihara” bermakna akan semakin maraknya dan bertambah pesatnya fakir miskin serta anak-anak terlantar. Hal ini akan semakin efektif jika kata “dipelihara” diganti dengan kata “diberantas”. Negara Indonesia seyogyanya menekan agar tidak semakin berkembang pesatnya fakir miskin serta anak-anak terlantar, dan mendapatkan kehidupan yang layak itu merupann suatu Hak Azasi yang diberikan oleh Sang Khalik untuk diamanatkan oleh suatu negara.
Walaupun pada umumnya Konstitusi yang ada di setiap negara tidak ada yang sempurna, tapi hal itu tidaklah menimbulkan pertentangan dan kerancuan yang dapat mengakibatkan mandetnya atau terhambatnya visi serta misi negara untuk mensejahterakan rakyatnya dengan cara menetapkan suatu sonstitusi yang benar-benar memihak pada kepentingan rakyat dan tidak untuk mengutamakan kepentingan kelompok dalam hal ini kepentingan politis.
Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara
Bangsa kita boleh berbangga dengan membentuk konstitusi sesuai dengan kultur bangsa. Maka, tidak heran pada tanggal 15 juli 1945, Ir. Soekarno sebagai penggali Pancasila dalam pidatonya di depan BPUPKI menyatakan, “keberanian menunjukkan bahwa kita hanya “membebek” kepada contoh-contoh UUD negara lain, tetapi membuat sendiri UUD yang baru yang berisi kefahaman keadilan yang menentang individualism dan liberalism, yang berjiwa kekeluargaan dan gotong royong”.
Mengawal konstitusi
Konstitusi sebagai landasan dan hukum utama haruslah mendapat pengawalan, hal ini dimaksudkan agar konstitusi tidak dijadikan sebagai wahana bagi para pihak yang ingin berkuasa. Tetapi menjadikan konstitusi sebagai landasan untuk menuwujudkan cita-cita leluhur bangsa. Salah satu bentuk pengawalan terhadap konstitusi yakni melakukan perubahan (amandemen) terhadap naskah yang tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Oleh sebabnya, terjadinya kediktatoran di masa lalu adalah bentuk kelemahan sistim hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti.
Dengan adanya perubahan konstitusi, diharapkan konstitusi dapat memenuhi kehendak, hasrat, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki konstitusi tersebut. Perubahan konstitusi juga didasari oleh pernyataan salah satu pendiri negara kita, Ir. Soekarno sebagai Ketua PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau menyatakan “….bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.
MPR sebagai lembaga yang berwenang telah berhasil melakukuan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat UUD 1945 mencakup subtansi yang sangat luas dan mendasar. Jumlah ketentuan yang dalam UUD 1945 proklamasi tercatat ada 71 butir ketentuan yang dirumuskan dalam 37 Pasal. Perumusan ketentuan yang diwarisi dari tahun 1945 itu, dengan perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat diubah dan ditambah, sehingga ketentuan asli yang tidak mengalami perubahan hanya berjumlah 25 butir saja.
Sedangkan 46 butir lainnya diubah dan ditambah dengan ketentuan-ketentuan baru sehingga seluruhnya menjadi berjumlah 199 butir ketentuan. Dengan demikian, terdapat 174 ketentuan baru yang dirumuskan dalam UUD 1945 yang apabila dibandingkan dengan 25 butir yang tidak mengalami perubahan, berarti perubahan UUD 1945 meliputi lebih dari 300 % isi UUD 1945.
Selama dilakukannya amandemen sampai keempat kalinya, UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia . Salah satu yang paling mendasar adalah tidak dijadikannya lagi MPR sebagai lembaga superior yang tertinggi, melainkan semua lembaga sederajat dalam sistim Check And Balances dengan menganut pola Distribution Of Power di bawah UUD 1945.
Kemudian diikutsertakannya rakyat secara langsung dalam memilih para pemimpin bangsa seperti presiden dan wakil presiden, serta pejabat daerah seperti gubernur, bupati/walikota dalam sistim Pemilu dan Pilkada.
Amandemen ke-5 UUD 1945 ?
Akan tetapi, walaupun telah dilakukan amandemen sampai tahap ke-4 pada tahun 2002. UUD 1945 masih perlu untuk dilakukan amandemen ke-5. Hal ini mengingat masih terdapat keganjalan dan kebobrokannya subtansi UUD 1945 sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila kita mencermati memang UUD 1945 telah mengalami kerancuan yang dapat menghambat kesejahteraan rakyat Indonesia . Hal ini dapat kita lihat dalam subtansi Pembukaan serta Batang Tubuh UUD 1945.
Dalam subtansi batang tubuh UUD 1945 mengalami ketimpangan sebab tidak tercantumkannya Bab IV dalam subtansi Batang Tubuh tersebut. Bab IV dihapus dalam amandemen ke-4 yang dahulu menjelaskan keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai Lembaga Tinggi Negara dengan tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagai kepala Negara dan Kepala penyelenggara pemerintahan Indonesia .
Dengan dihapuskannya DPA, maka lembaga konsultatif tersebut telah berganti nama serta kedudukan yakni dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang berkedudukan di dalam Bab III tentang Pemerintahan Negara pada Pasal 16 tersebut. Dengan di pindahkannya kedudukan lembaga konsultatif Wantimpres ke dalam Bab III, maka dengan ini otomatis Bab IV kehilangan konsep yang jelas dan tidak dimuat dalam subtansi UUD 1945. Dalam perkembangannya setelah Bab III tentang Pemerintahan Negara kemudian diikuti dengan Bab V tentang Menteri Negara dan seterusnya. Hal ini dapat berakibat hilangnya kewibawaan dan kerancuan konsititusi tertulis Indonesia .
Pada Bab V tentang Menteri Negara pada Pasal 17 ayat (3) Menyebutkan “setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”. Hal ini dapat diartikan bahwa seorang Menteri hanya dapat menjabat satu bidang kementrian yang dipimpinnya. Walaupun konstitusi menjelaskan demikian, sangat berbeda dengan realita yang ada dalam pelaksanaan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Presiden selaku kepala pemerintahan. Pada saat yang lalu ada saja satu menteri membidangi lebih dari satu kursi jabatan yang dipegangnya.
Sebaiknya para anggota legislatif yang membahas amandemen ke-V UUD 1945 harus membuat aturan yang melarang pejabat negara merangkap jabatan lebih dari satu jabatan yang ia pegang. Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan serta memaksimalkan kinerja para pejabat negara tersebut.
Kemudian dari pada itu banyak terdapat makna yang luas atau dapat di interpretasikan ke dalam makna yang bermuatan politis terhadap tekstual UUD 1945. Pada Bab XIV tentang Perekonomian National dan Kesejahteraan Sosial Pasal 34 ayat (5) menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata “dipelihara” tersebut dapat menimbulkan interpretasi berbeda dan tentunya sangat keliru yang dapat menghambat pertumbuhan perekonomian suatu negara, yakni kata tersebut dapat bermakna bahwa negara terus akan memperbanyak (baca:menambah) anak yatim dan orang-orang terlantar bukan pada yang semestinya yakni menekan agar tidak bertambah banyak.
Pada saat ini permasalahan fakir miskin serta anak-anak yang terlantar semakin banyak terutama untuk daerah-daerah perkotaan, bahkan setiap diperempatan trafick light dan jalan-jalan masih banyaknya para pengemis yeng meminta belas kasihan para pengemudi kendaraan bermotor dan orang-orang yang menghampirinya, mereka secara tegas dapat disebut sebagai anak-anak terlantar yang selayaknya pada usia mereka haruslah mengenyam pendidikan formal.
Negara Indonesia sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi haruslah memberikan tempat yang selayaknya pada mereka. Kata yang terdapat di dalam subtansi tersebut yakni “dipelihara” bermakna akan semakin maraknya dan bertambah pesatnya fakir miskin serta anak-anak terlantar. Hal ini akan semakin efektif jika kata “dipelihara” diganti dengan kata “diberantas”. Negara Indonesia seyogyanya menekan agar tidak semakin berkembang pesatnya fakir miskin serta anak-anak terlantar, dan mendapatkan kehidupan yang layak itu merupann suatu Hak Azasi yang diberikan oleh Sang Khalik untuk diamanatkan oleh suatu negara.
Walaupun pada umumnya Konstitusi yang ada di setiap negara tidak ada yang sempurna, tapi hal itu tidaklah menimbulkan pertentangan dan kerancuan yang dapat mengakibatkan mandetnya atau terhambatnya visi serta misi negara untuk mensejahterakan rakyatnya dengan cara menetapkan suatu sonstitusi yang benar-benar memihak pada kepentingan rakyat dan tidak untuk mengutamakan kepentingan kelompok dalam hal ini kepentingan politis.
Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda