Mitologisasi Ramadhan dan Kemerdekaan RI

Secara historis, mitologisasi kemerdekaan dalam hubungan antara Ramadhan dengan Agustus mulai dikemukakan tahun 1946, tepatnya pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang pertama. Pada saat itu, secara kebetulan atau tidak, berbagai pidato petinggi negara, mulai dari Presiden Soekarno, para gubernur, residen, bupati, wedana, camat, dan kepala desa, serta tidak terkecuali para pemimpin formal atau infomal mengaitkan spirit kemerdekaan rohani/jiwa yang diperoleh melalui puasa Ramadhan dengan kemerdekaan fisik 17 Agustus 1945 yang didapat dengan perjuangan lahir dan batin menentang para penjajah. Berbagai spanduk yang dipasang dan coretan yang dibuat saat itu juga berisikan pernyataan yang sama. Dari berbagai sumber sejarah diketahui, bahwa fenomena ini terjadi di hampir seluruh pelosok negeri, termasuk di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non-muslim (yang tidak memahami Ramadhan sebagai bulan puasa).


Sejak tahun 1946 hingga saat sekarang, dalam berbagai kesempatan, terutama bila Ramadhan datang bersamaan dengan bulan Agustus, maka mitos-mitos tersebut kembali diapungkan.


Tahun ini, aroma mitologisasi makna kemerdekaan dari kesamaan masuknya Ramadhan dengan Agustus telah tercium di atmosfer bangsa. Beberapa pejabat dan politisi khususnya serta penceramah atau penulis umumnya telah menghangat-hangat hubungan antara Ramadhan dengan kemerdekaan RI itu. Bahkan, ada yang mewacanakan bahwa perayaan kemerdekaan RI yang jatuh pada bulan Ramadhan tahun ini sejatinya diisi juga dengan ”pemerdekaan” atau pengampunan dan pembebasan sebagian anak bangsa yang telah berbuat dosa (yang memaling dan mengorup uang rakyat dan harta negara).


Mitologisasi akhir-akhir ini (apalagi yang disebut terakhir di atas) sangat jauh bedanya dengan mitos-mitos kesamaan antara Ramadhan dan kemerdekaan RI yang diciptakan para pemimpin di masa lampau. Di masa lampau mitos itu diciptakan untuk menumbuhkan rasa cinta pada tanah air. Mitos dibuat juga untuk menghadirkan sikap mau berkorban dan rela menderita bagi anak negeri guna kemerdekaan dan keutuhan bangsa. Penciptaan mitos tahun 1946—sebagai contoh—adalah sebagai bagian upaya pemimpin negeri untuk menumbuhkan semangat perlawanan (patriotisme dan nasionalisme) anak bangsa menghadapi kedatangan kembali Belanda (NICA) yang membonceng bersama tentara sekutu. Di samping itu, mitos tahun 1946 tersebut dibuat oleh para pemimpin yang telah teruji kenegarawannya. Mitos yang dibuat dewasa ini (apalagi yang terakhir), cenderung tidak menyentuh kepentingan keseluruhan anak bangsa dan tidak ditujukan untuk kepentingan negara bangsa. Dan, sejalan dengan itu, para pencipta mitosnya juga bukan para politisi dan pejabat yang mumpuni, mereka bukan pemimpin dan bukan negarawan.


Mitos memang perlu, tetapi kalau terlalu banyak mitos akan menimbulkan dampak negatif bagi pertumbuhan jiwa anak bangsa. Apalagi sebagian mitos itu sesat, menyesatkan, serta tidak cerdas. Padahal, pandangan, gagasan dan ide yang bernas, serta orang cerdaslah yang dibutuhkan bangsa ini.


Karena itu, ketika kesadaran dan kecerdasan serta kekritisan anak bangsa sudah demikian maju, selayaknya mitologisasi itu ditinggalkan. Marilah kita kembali ”ke bumi”, kembali kepada kenyataan sehari-hari warga bangsa dan negara ini. Warga bangsa yang masih banyak menderita dan negara yang masih dibelit beragam masalah. Para pejabat dan politisi khususnya dan penceramah atau pengamat/peminat sosial keagamaan umumnya sudah sepantasnya meninggalkan segala mitos sesat, menyesatkan dan tidak cerdas itu, serta beralihkanlah guna menghadirkan pernyataan, pidato, ceramah dan tulisan yang realistis dan mencerdaskan.


Bila tidak mitos-mitos yang dihadirkan tersebut akan menjadi bumerang, sebab anak bangsa yang cerdas dan kritis dengan segera mengetahui bahwa apa yang diucapkan, dipidatokan, diceramahkan atau dituliskan hanyalah omong kosong semata, lain yang diucapkan/dituliskan lain pula yang dilakukan. Karena itu, marilah kita masuki dan jalani puasa Ramadhan, serta kita rayakan kemerdekaan RI dengan menyelaraskan niat dengan amalan dan menyesuaikan kata dengan perbuatan. (*)

[ Red/Redaksi_ILS ]

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda