Sejarah Bandung Lautan Api
Tanggal
27 Agustus 1945, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), disusul oleh
terbentuknya Laskar Wanita Indonesia (LASWI) pada tanggal 12 Oktober
1945. Jumlah anggotanya 300 orang, terdiri dari bagian pasukan tempur,
Palang Merah, penyelidikan dan perbekalan.
Peristiwa yang memperburuk keadaan
terjadi pada tanggal 25 November 1945. Selain menghadapi serangan
musuh, rakyat menghadapi banjir besar meluapnya Sungai Cikapundung.
Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan penduduk kehilangan tempat
tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang rakyat yang
tengah menghadapi musibah.
Berbagai tekanan dan serangan terus
dilakukan oleh pihak Inggris dan Belanda. Tanggal 5 Desember 1945,
beberapa pesawat terbang Inggris membom daerah Lengkong Besar. Pada
tanggal 21 Desember 1945, pihak Inggris menjatuhkan bom dan rentetan
tembakan membabi buta di Cicadas. Korban makin banyak berjatuhan.
Bandoeng Laoetan Api
Ultimatum agar Tentara Republik Indonesia (TRI) meninggalkan kota dan
rakyat, melahirkan politik "bumihangus". Rakyat tidak rela Kota Bandung
dimanfaatkan oleh musuh. Mereka mengungsi ke arah selatan bersama para
pejuang. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3) di hadapan semua
kekuatan perjuangan, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdul Haris Nasution selaku
Komandan Divisi III, mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan rakyat untuk meninggalkan Kota Bandung. Hari itu juga,
rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan
rakyat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakannya lagi. Di
sana-sini asap hitam mengepul membubung tinggi di udara. Semua listrik
mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi.
Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu.
TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah
pemuda Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan
gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan
terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut terbakar di dalamnya. Staf
pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam
kota, tetapi demi keselamatan maka pada jam 21.00 itu juga ikut keluar
kota. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah
kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota.
Dan Bandung pun berubah menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut
merupakan tindakan yang tepat, karena kekuatan TRI dan rakyat tidak
akan sanggup melawan pihak musuh yang berkekuatan besar. Selanjutnya
TRI bersama rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar
Bandung. Peristiwa ini melahirkan lagu "Halo-Halo Bandung" yang
bersemangat membakar daya juang rakyat Indonesia.
Bandung Lautan Api kemudian menjadi
istilah yang terkenal setelah peristiwa pembakaran itu. Banyak yang
bertanya-tanya darimana istilah ini berawal. Almarhum Jenderal Besar
A.H Nasution teringat saat melakukan pertemuan di Regentsweg (sekarang
Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan
Sjahrir di Jakarta, untuk memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan
terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris.
Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air”Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
A.H Nasution, 1 Mei 1997
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul Bandoeng Djadi Laoetan Api. Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi Bandoeng Laoetan Api.
Sumber: Bandung Society For Herritage Conservation