Sulitnya Memperoleh Informasi Publik
Pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan regulasi yang menjamin hak masyarakat untuk mengakses dan memperoleh informasi yang berhubungan dengan kehidupan mereka, baik secara individu maupun komunitas. Diberlakukannya Undang(UU) Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada 30 April lalu menjadi penanda dimulainya era keterbukaan informasi publik di Indonesia ini. Dalam UU KIP, badan publik diwajibkan menyediakan inormasi atas berbagai kebijakan, peraturan, perjanjian, dan anggaran yang mengatur hajat hidup masyarakat banyak. Informasi dimaksud misalnya APBN/APBD dan detail turunannya, dokumen proyek, perjanjian kerjasama dengan swasta, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan publik. Informasi yang dikecualikan untuk bisa diakses bersifat ketat dan teratas adalah yang menyangkut pertahanan negara, rahasia pasien, hak paten dan informasi, yang jika dibuka bisa merugikan kemasalahatan publik. Disisi lain, setelah diberlakukannya UU KIP ini masyarakat membayangkan akan dengan mudah mengakses informasi dan menyengketakannya jika permintaan informasi tersebut ditolak oleh badan publik. Anggapan itu tentu wajar karena memang regulasi ini menjamin hak masyarakat mendapatkan akses yang luas terhadap informasi yang selama ini banyak ditutup oleh pemerintah. Namun sesungguhnya upaya untuk memperoleh informasi publik belumlah semudah dibayangkan. Misalnya, dalam mengajukan permintaan informasi, masyarakat harus menunggu jawaban resmi dari badan publik selama 10 hari masa kerja. Badan publik juga berhak menunda memberikan jawaban selama 7 hari kerja. Artinya, pada tahap awal dalam meminta informasi saja masyarakat masih membutuhkan waktu 17 hari untuk mendapatkan jawaban. Jika permintaan ditolak atau diabaikan oleh badan publik masyarakat masih harus mengajukan surat keberatan kepada badan publik sampai 30 hari masa kerja. Baru setelah itu, masyarakat bisa mengajukan penyelesaian sengketa informasi ke Komisi Informasi. Korbankan Waktu Setelah perkara sengketa informasi masuk ke Komisi Informasi, prosedur dan langkah yang lebih sulit justru sudah menanti. Komisi akan melakukan tahapan yang sudah diatur dalam undang-undang mulai dari mediasi sampai dengan ajudikasi nonlitigasi jika mediasi yang dilakukan gagal. Melihat prosedur yang cukup rumit itu, hendaknya pemerintah bisa merumuskan formula baru yang lebih sederhana dan murah dalam penyelesaian sengketa informasi. Melihat prosedur yang cukup rumit, hendaknya pemerintah bisa merumuskan formula baru yang lebih sederhana dan murah dalam penyelesaian sengketa informasi. Dengan prosedur yang saat ini sudah ada, bisa dibayangkan bagaimana kalau yang bersengketa informasi adalah masyarakat basis seperti nelayan atau petani? Mereka harus mengorbankan waktu, tenaga, biaya, dan pikiran hanya untuk memperoleh informasi yang memang sudah dijamin dalam undang-undang. Belum lagi jika masuk pada tahapan ajudikasi nonlitigasi, masyarakat basis dituntut harus mempunyai pengetahuan yang cukup. Mereka juga mungkin berhadapan dengan ahli hukum yang disewa oleh badan publik ketika proses ajudikasi berlangsung. Pada tahapan ini, posisi masyarakat benar-benar sangat tidak diuntungkan, terutama bagi masyarakat basis yang miskin dan tidak cukup pengetahuan. Dengan kata lain, meski sudah dijamin dalam undang-undang, pada kenyataannya publik masih sulit ketika ingin memperoleh informasi. Disinilah peran Komisi Informasi agar mampu membuat regulasi atau kebijakan demi menyederhanakan tata cara memperoleh informasi sehingga benar-benar memihak masyarakat.