Diplomasi Indonesia Terhadap Malaysia
Kepentingan Nasional
Ketika mendefinisikan kepentingan nasional, setiap penstudi hubungan internasional selalu mengawalinya dengan memposisikan paradigma dalam memahami lingkungan internasional. Bagi penganut realisme, kepentingan nasional yang utama adalah melindungi integritas nasional.
Sementara bagi penganut liberalisme jauh lebih penting untuk memastikan bahwa warga negara (yang juga merupakan bagian dari warga dunia) memiliki jaminan untuk hidup layak dan sejahtera.
Nasionalisme dan kedaulatan nasional adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi. Namun jauh lebih penting untuk memisahkan sekat-sekat nasionalisme itu dari prinsip-prinsip kemanusiaan yang lebih luas. Bahkan, paradigma yang bersifat idealistik ini cenderung meniadakan kepentingan nasional.
Politik luar negeri dan diplomasi selalu diabdikan untuk kepentingan nasional, namun konsep ini dinamis dan kontekstual. Pada awal kemerdekaan, kepentingan nasional Indonesia adalah memperoleh pengakuan atas negara Indonesia yang baru saja berdiri.
Lalu pada era nation building dekade 1960-an, kepentingan nasional dipahami sebagai upaya membangun integrasi yang kuat. Presiden Soekarno menempuh strategi: menciptakan musuh imajiner dari luar untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang rawan perpecahan.
Pada masa Orde Baru, kepentingan nasional yang utama adalah memaksimalkan dukungan internasional bagi pembangunan menuju tahap tinggal landas. Lalu, ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi, kepentingan nasional diterjemahkan sebagai ôupaya memulihkan perekonomian dari krisis.
Di banyak negara, tujuan politik luar negeri itu dituangkan dalam foreign policy white paper. Masalah mendasar politik luar negeri dan diplomasi Indonesia adalah tidak ada visi permanen yang tertuang dalam dokumen resmi seperti ini.
Sasaran yang hendak dicapai dalam diplomasi tidak jelas, dan tidak ada rencana sistematis terhadap praktek politik luar negeri. Indonesia cenderung membiarkan praktek diplomasi bersifat mengambang, reaktif, dan mengikuti desain yang disiapkan oleh negara-negara mitra. Beberapa inisiatif yang muncul dari Indonesia juga tidak direncanakan sebelumnya.
Dampaknya adalah setelah 65 tahun merdeka, Indonesia belum juga berhasil menyelesaikan perundingan perbatasan wilayah dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, India, dan Republik Palau (di wilayah Pasifik), serta kemudian muncul lagi masalah perbatasan dengan Timor Leste. Para diplomat selalu berkelit bahwa perundingan perbatasan melibatkan negara-negara yang hendak diajak berunding, sehingga tidak mungkin untuk menetapkan batas waktu yang pasti.
Padahal, dalam praktik diplomasi, selalu saja tersedia pilihan untuk penyelesaian terukur. Misalnya, Indonesia bisa menyampaikan ketegasan bahwa perundingan ini harus kita rampungkan dalam waktu sekian lama. Jika tidak, maka kami akan membawa persoalan ini ke Mahkamah Internasional, agar batas wilayah masing-masing menjadi jelas.
Preventive Diplomacy
Apa yang kita saksikan dari drama hubungan Indonesia-Malaysia menunjukkan bahwa sikap pemerintah Indonesia cenderung prefentif, suatu sikap yang menghindari pertikaian terbuka dengan mengeliminasi ancaman-ancaman konfrontatif.
Michael S Lund dalam bukunya Preventing Violent Conflict: A Strategy for Preventive Diplomacy (1996) mengidentifikasi model diplomasi ini sebagai tindakan yang diambil pada saat-saat krusial untuk menghindari penggunaan ancaman atau kekuatan bersenjata dan bentuk-bentuk kekerasan (pemaksaan) oleh negara dalam upaya menyelesaikan sengketa politik yang dapat meningkatkan dampak instabilitas ekonomi, sosial, politik, dan perubahan internasional.
Asumsi pandangan ini adalah jauh lebih mudah menghindari konflik, dibandingkan mengatasi konflik terbuka yang terlanjur terjadi.
Dengan prinsip thousand friends and zero enemy yang selalu dikumandangkan Presiden SBY, pemerintah ingin menghindari konflik terbuka dengan Malaysia. Prinsip ini tampaknya berlebihan, salah konteks, dan ketinggalan jaman.
Berlebihan, karena pemerintah Indonesia sibuk menjaga hubungan baik dengan semaksimal mungkin menghindari ketidakpuasan di pihak Malaysia, sementara pemerintah Malaysia tidak menerapkan hal yang sama. Prinsip perlakuan timbal-balik yang sama (resiprokal) adalah landasan dalam diplomasi modern. Lagi pula, kecenderungan setiap negara untuk berperang dewasa ini telah menurun drastis, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran global terhadap prinsip-prinsip humanisme.
Prinsip ini juga salah konteks dan ketinggalan jaman, sebab selama puluhan tahun Indonesia tidak lagi mempunyai persoalan dalam hubungan diplomatik dengan negara manapun. Kasus penarikan Duta Besar Indonesia di Australia, Imron Cotan, pada tahun 2005 tidak serta-merta mengakhiri diplomatik kedua negara. Hal itu justru menjadi kritikan yang berarti bagi Australia yang menyebabkan negeri Kanguru itu makin menghormati Indonesia.
Jika akhir-akhir ini masyarakat menuntut agar pemerintah Indonesia menunjukkan sikap tegas terhadap Malaysia, tentu saja itu bukan tanpa alasan. Dan seharusnya, pemerintah Indonesia perlu merespon tuntutan itu untuk menghindari meluasnya sentimen anti-Malaysia yang dapat mengganggu desain besar menuju ASEAN Community 2015.***
Tribun Timur
Lebih Interaktif, Lebih Akrab
Ketika mendefinisikan kepentingan nasional, setiap penstudi hubungan internasional selalu mengawalinya dengan memposisikan paradigma dalam memahami lingkungan internasional. Bagi penganut realisme, kepentingan nasional yang utama adalah melindungi integritas nasional.
Sementara bagi penganut liberalisme jauh lebih penting untuk memastikan bahwa warga negara (yang juga merupakan bagian dari warga dunia) memiliki jaminan untuk hidup layak dan sejahtera.
Nasionalisme dan kedaulatan nasional adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi. Namun jauh lebih penting untuk memisahkan sekat-sekat nasionalisme itu dari prinsip-prinsip kemanusiaan yang lebih luas. Bahkan, paradigma yang bersifat idealistik ini cenderung meniadakan kepentingan nasional.
Politik luar negeri dan diplomasi selalu diabdikan untuk kepentingan nasional, namun konsep ini dinamis dan kontekstual. Pada awal kemerdekaan, kepentingan nasional Indonesia adalah memperoleh pengakuan atas negara Indonesia yang baru saja berdiri.
Lalu pada era nation building dekade 1960-an, kepentingan nasional dipahami sebagai upaya membangun integrasi yang kuat. Presiden Soekarno menempuh strategi: menciptakan musuh imajiner dari luar untuk menyatukan seluruh komponen bangsa yang rawan perpecahan.
Pada masa Orde Baru, kepentingan nasional yang utama adalah memaksimalkan dukungan internasional bagi pembangunan menuju tahap tinggal landas. Lalu, ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi, kepentingan nasional diterjemahkan sebagai ôupaya memulihkan perekonomian dari krisis.
Di banyak negara, tujuan politik luar negeri itu dituangkan dalam foreign policy white paper. Masalah mendasar politik luar negeri dan diplomasi Indonesia adalah tidak ada visi permanen yang tertuang dalam dokumen resmi seperti ini.
Sasaran yang hendak dicapai dalam diplomasi tidak jelas, dan tidak ada rencana sistematis terhadap praktek politik luar negeri. Indonesia cenderung membiarkan praktek diplomasi bersifat mengambang, reaktif, dan mengikuti desain yang disiapkan oleh negara-negara mitra. Beberapa inisiatif yang muncul dari Indonesia juga tidak direncanakan sebelumnya.
Dampaknya adalah setelah 65 tahun merdeka, Indonesia belum juga berhasil menyelesaikan perundingan perbatasan wilayah dengan Singapura, Malaysia, Filipina, Vietnam, India, dan Republik Palau (di wilayah Pasifik), serta kemudian muncul lagi masalah perbatasan dengan Timor Leste. Para diplomat selalu berkelit bahwa perundingan perbatasan melibatkan negara-negara yang hendak diajak berunding, sehingga tidak mungkin untuk menetapkan batas waktu yang pasti.
Padahal, dalam praktik diplomasi, selalu saja tersedia pilihan untuk penyelesaian terukur. Misalnya, Indonesia bisa menyampaikan ketegasan bahwa perundingan ini harus kita rampungkan dalam waktu sekian lama. Jika tidak, maka kami akan membawa persoalan ini ke Mahkamah Internasional, agar batas wilayah masing-masing menjadi jelas.
Preventive Diplomacy
Apa yang kita saksikan dari drama hubungan Indonesia-Malaysia menunjukkan bahwa sikap pemerintah Indonesia cenderung prefentif, suatu sikap yang menghindari pertikaian terbuka dengan mengeliminasi ancaman-ancaman konfrontatif.
Michael S Lund dalam bukunya Preventing Violent Conflict: A Strategy for Preventive Diplomacy (1996) mengidentifikasi model diplomasi ini sebagai tindakan yang diambil pada saat-saat krusial untuk menghindari penggunaan ancaman atau kekuatan bersenjata dan bentuk-bentuk kekerasan (pemaksaan) oleh negara dalam upaya menyelesaikan sengketa politik yang dapat meningkatkan dampak instabilitas ekonomi, sosial, politik, dan perubahan internasional.
Asumsi pandangan ini adalah jauh lebih mudah menghindari konflik, dibandingkan mengatasi konflik terbuka yang terlanjur terjadi.
Dengan prinsip thousand friends and zero enemy yang selalu dikumandangkan Presiden SBY, pemerintah ingin menghindari konflik terbuka dengan Malaysia. Prinsip ini tampaknya berlebihan, salah konteks, dan ketinggalan jaman.
Berlebihan, karena pemerintah Indonesia sibuk menjaga hubungan baik dengan semaksimal mungkin menghindari ketidakpuasan di pihak Malaysia, sementara pemerintah Malaysia tidak menerapkan hal yang sama. Prinsip perlakuan timbal-balik yang sama (resiprokal) adalah landasan dalam diplomasi modern. Lagi pula, kecenderungan setiap negara untuk berperang dewasa ini telah menurun drastis, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran global terhadap prinsip-prinsip humanisme.
Prinsip ini juga salah konteks dan ketinggalan jaman, sebab selama puluhan tahun Indonesia tidak lagi mempunyai persoalan dalam hubungan diplomatik dengan negara manapun. Kasus penarikan Duta Besar Indonesia di Australia, Imron Cotan, pada tahun 2005 tidak serta-merta mengakhiri diplomatik kedua negara. Hal itu justru menjadi kritikan yang berarti bagi Australia yang menyebabkan negeri Kanguru itu makin menghormati Indonesia.
Jika akhir-akhir ini masyarakat menuntut agar pemerintah Indonesia menunjukkan sikap tegas terhadap Malaysia, tentu saja itu bukan tanpa alasan. Dan seharusnya, pemerintah Indonesia perlu merespon tuntutan itu untuk menghindari meluasnya sentimen anti-Malaysia yang dapat mengganggu desain besar menuju ASEAN Community 2015.***
Tribun Timur
Lebih Interaktif, Lebih Akrab
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda