PENGAKUAN KEDAULATAN INDONESIA / RIS 27 DESEMBER 1949 OLEH BELANDA

Namun, pihak RI berhasil mendudukkan Ir. Soekarno sebgai Presiden RIS dan Drs. Moehammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Kemenangan strategis yang berhasil dicapai dalam Konferensi Meja Bundar ( KMB ) ini adalah keputusan bahwa inti angkatan perang RIS adalah TNI. Dan tentara Belanda di Indonesia yang dikenal dengan nama KNIL dibubarkan dalam waktu enam bulan. Konsesi yang terpaksa diberikan pihak Indonesia adalah beberapa ikatan di bidang ekonomi/finansial dan pihak Belanda masih menguasai " Residensi" Irian Barat yang dinyatakan sebagai masalah sengketa. namun, dispakati bahwa masalah itu akan diselesaikan melalui perundingan dalam masa waktu satu tahun (kemudian ternyata, sengketa Irian Barat baru dapat diselesaikan setelah 12 tahun KMB berlalu).


Namun, segi-segi tidak begitu menguntungkan dari persetujuan KMB itu seperti tidak merupakan beban pada tanggal 27 Desember 1949. Yang penting, Belanda menyerahkan tanggungjawab pemerintahan kepada pihak Indonesia yang diwakili oleh tokoh populer pada waktu itu, yaitu Bung Soeltan Hamengkoeboewono IX.
Ia mengenakan seragam militer TNI dengan pangkat kehormatan Letnan Jendral. rakyat jakarta selama bertahun-tahun dibawah pemerintahan Belanda jarang melihat tokoh-tokoh TNI dalam seragam militer.
Pada hari itu mereka ikut bangga menyaksikan para perwira TNI ikut tampil seperti Letnan Kolonel Daan Yahya ( Gubernur Militer Jakarta Raya ) dan Kolonel Tahi Bonar Simatupang ( Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang RIS ).

Yang paling membanggakan bagi rakyat Jakarta adalah kehadiran Pasukan Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi di depan Istana Merdeka dalam upacara penurunan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) dan dikibarkannya Sang Saka Merah Putih. Batalyon Kala Hitam dipimpin oleh Mayor Kemal Idris, tetapi kesatuan yang ikut upacara di samping pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Poniman (kemudian pernah menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan).




Pada saat yang bersamaan, tanggal 27 Desember 1949 itu, di istana Dam di Amsterdam, Belanda diselenggarakan serah terima (pihak Indonesia menyebutnya Pengakuan Kedaulatan) kedaulatan atas wilayah Indonesia, dulunya Hindia Belanda. Upacara khidmat itu dihadiri oleh oleh Ratu Belanda, Juliana dan RIS diwakili sebuah delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Moehammad Hatta.


Ia bertahun-tahun bermukim di negara Belanda sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Rotterdam. Ia pernah ditahan dan dibawa ke pengadilan karena dituduh sebagai aktivis Organisasi Perhimpunan Indonesia ( PI ) yang telah menimbulkan keonaran. Sudah pasti upacara 27 Desember 1949 itu merupakan pengalaman bahagia dan unik bagi Bung Hatta. Namun ketika seorang wartawan Belanda selesai upacara tersebut bertanya, bagaimana perasaannya, Bung Hatta menjawab, "Ah, biasa saja". Sungguh sebuah ungkapan merendah dari diplomat ulung yang juga merupakan salah satu Proklamator kemerdekaan RI tersebut. Padahal dari peristiwa ini Indonesia kemudian diakui sebagai sebuah negara yang berdaulat sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah merdeka. Ia sudah bahagia dan tanpa pamrih memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran bagi bangsa dan negaranya.


Menarik sekali pandangan kesejarahan Kolonel Tahi Bonar Simatupang yang hadir dalam upacara di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1949 seperti dituliskannya dalam bukunya "Laporan Dari Banaran". Ia menulis " Syahdan pada tahun 1629 maka tibalah di tepi Kali Ciliwung balatentara Kerajaan Mataram yang telah memperoleh perintah dari Sultan Agung Hanyokrokusumo untuk mengusir penjajah Belanda dari Batavia, yakni kota yang didirikan Belanda pada tahun 1619 di tempat yang sebelumnya bernama Jayakarta. Daerah sekitar Kali Ciliwung itu dijadikan pangkalan oleh balatentaraMataram tadi untuk meancarkan serangan atas Batavia. Oleh sebab itulah daerah tersebut sampai sekarang masih terkenal dengan nama Mataraman ( Matraman ). Balatentara Sultan Agung tidak berhasil mengusir Belanda dari Batavia dan dari Batavia inilah Belanda meluaskan daerah kekuasaannya sehingga pada akhirnya seluruh tanah air Indonesia meringkuk dibawah penjajahan Belanda. Syahdan tigaratus dua puluh tahun kemudian, yakni pada tanggal 27 Desember 1949 sore, maka berangkatlah sebuah delegasi dari Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 Jakarta ( sekarang Jalan Proklamasi ) yang terletak di daerah Mataraman, ke "Paleis Rijswijk" untuk menghadiri upacara peresmian berakhirnya kekuasaan Belanda atas Indonesia. Sejak pengakuan kedaulatan, maka makna "Paleis Rijswijk" digantilah menjadi "Istana Merdeka". Kebetulan delegasi yang menghadiri upacara peresmian berakhirnya kekuasaan belanda atas Indonesia itu berada di bawah pimpinan Sri Soeltan Hamengkoeboewono IX dari Mataram, keturunan dari Sultan Agung Hanyokrokusumo"

Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda