Refleksi HUT Ke-65 TNI: Menuju TNI yang Tangguh dan Dedikatif
Payung hukum yang memberi legitimasi supremasi sipil atas militer
tertuang dalam UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU
No 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Di samping TAP MPR No VII/MPR/2000
dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedua
regulasi terakhir dengan rinci telah mengatur pemisahan fungsi Polri
dari TNI.
Sejak 2004 lalu, di internal TNI (dan Kementerian Pertahanan) terjadi akselerasi reformasi yang terlihat dari berbagai modifikasi doktrin dan konsep yang terkait dengan pengelolaan institusi militer dan penyelenggaraan pertahanan negara.
Reformasi doktrin dan konsep tersebut termuat dalam doktrin Tri Darma Eka (Tridek), kebijakan umum pertahanan negara (Jakumhaneg), Keppres Bisnis Militer, buku netralitas TNI dalam pemilu dan pemilukada, serta empat produk strategis Kementerian Pertahanan (buku putih pertahanan, doktrin pertahanan, strategi pertahanan, dan postur pertahanan).
Reformasi TNI sesungguhnya ingin menegaskan kembali jati diri TNI, bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi rakyat, bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia dari beragam ancaman dan gangguan, baik potensial maupun aktual. Dari fungsi tersebut dapat dilihat bahwa ‘watak politik’ TNI adalah politik negara, bukan politik partisan.
Surutnya peran politik TNI tak berarti pudarnya daya tawar insitusi itu dalam turbulensi politik nasional. Secara formal, TNI memang tak lagi terlibat dalam urusan politik praktis. Namun, secara faktual, peran dan pengaruh TNI tetap diperlukan dalam menopang kebijakan pemerintah sipil di sektor pertahanan dan kemanan (hankam).
Kalau kita urai benang masalah, masih banyak kendala (internal maupun eksternal) yang kerap dihadapi TNI untuk mewujudkan dirinya sebagai tentara profesional.
Pertama, TNI belum mampu sepenuhnya melepaskan diri dari karakter tentara politik, karena di banyak negara, kelahiran dan eksistensi militer terkait erat dengan sejarah evolusi bangsa, yakni hak sejarah dan prinsip kompetensi.
Prinsip hak sejarah dilatari oleh keyakinan bahwa militer telah berkorban dan berperan besar dalam pembentukan bangsa dan mempertahankan keutuhan negara. Sementara prinsip kompetensi dilandasi keyakinan bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mewujudkan kepentingan nasional.
Kedua, belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dan institusi sektor keamanan lainnya dalam konfigurasi politik nasional. UU TNI dan UU Pertahanan Negara, ke depan masih perlu disempurnakan. Regulasi politik yang lebih lengkap diharapkan dapat memperkuat implementasi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor penyelenggara kebijakan Hankamnas yang vital dan strategis.
Ketiga, transformasi struktural TNI belum dipandang sebagai reformasi sektor keamanan negara secara menyeluruh. Reformasi TNI, tentu tak sekadar bertujuan menata ulang hubungan sipil-militer. Dalam jangka panjang, harus efektif dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, kinerja dan kontrol demokratis, berlangsungnya good governance dalam sistem pertahanan, serta memperkuat otoritas pemerintahan sipil.
Keempat, masih terpragmentasinya sikap dan komitmen politisi sipil dalam mendukung reformasi TNI (kerap terjebak untuk menarik kembali TNI masuk ke dalam ranah politik). Seperti terungkap dalam wacana penggunaan hak pilih TNI serta mendorong kebijakan politik, menyiapkan regulasi, dan dukungan anggaran operasional yang memadai di sektor hankam, guna mewujudkan TNI yang profesional, tangguh, modern, dan dedikatif.
Kelima, dukungan sarana pendidikan dan pelatihan TNI, termasuk dukungan pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional.
Keenam, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. Sulit bagi kita untuk bermimpi memiliki TNI yang profesional, dedikatif, tangguh, pantang menyerah, serta mampu menjaga kedaulatan dan kehormatan negara dari segala ancaman, tanpa dukungan kesejahteraan bagi prajurit TNI dan keluarganya.
Kita berharap, di bawah kepemimpinan Laksamana Agus Suhartono, keenam isu di atas dapat segera ditutaskan guna merampungkan agenda reformasi TNI.
Namun sekali lagi, sulit bagi kita berharap profesionalisme TNI dapat terwujud di tengah kebisingan politik nasional, suburnya kekerasan massa, maraknya konflik horisontal, kelangkaan anggaran, alutsista yang uzur, dan minimnya kesejahteraan prajurit.
Yang pasti, sebagai bangsa pejuang kita tetap optimis di antara kondisi bangsa yang akut itu, TNI dapat terus melanjutkan reformasi internalnya. Mewujudkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, prajurit pejuang, dan militer profesional. Dirgahayu TNI!
* Kepala Divisi Riset KPMJ, dosen FISIP USNI Jakarta
Sejak 2004 lalu, di internal TNI (dan Kementerian Pertahanan) terjadi akselerasi reformasi yang terlihat dari berbagai modifikasi doktrin dan konsep yang terkait dengan pengelolaan institusi militer dan penyelenggaraan pertahanan negara.
Reformasi doktrin dan konsep tersebut termuat dalam doktrin Tri Darma Eka (Tridek), kebijakan umum pertahanan negara (Jakumhaneg), Keppres Bisnis Militer, buku netralitas TNI dalam pemilu dan pemilukada, serta empat produk strategis Kementerian Pertahanan (buku putih pertahanan, doktrin pertahanan, strategi pertahanan, dan postur pertahanan).
Reformasi TNI sesungguhnya ingin menegaskan kembali jati diri TNI, bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi rakyat, bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia dari beragam ancaman dan gangguan, baik potensial maupun aktual. Dari fungsi tersebut dapat dilihat bahwa ‘watak politik’ TNI adalah politik negara, bukan politik partisan.
Surutnya peran politik TNI tak berarti pudarnya daya tawar insitusi itu dalam turbulensi politik nasional. Secara formal, TNI memang tak lagi terlibat dalam urusan politik praktis. Namun, secara faktual, peran dan pengaruh TNI tetap diperlukan dalam menopang kebijakan pemerintah sipil di sektor pertahanan dan kemanan (hankam).
Kalau kita urai benang masalah, masih banyak kendala (internal maupun eksternal) yang kerap dihadapi TNI untuk mewujudkan dirinya sebagai tentara profesional.
Pertama, TNI belum mampu sepenuhnya melepaskan diri dari karakter tentara politik, karena di banyak negara, kelahiran dan eksistensi militer terkait erat dengan sejarah evolusi bangsa, yakni hak sejarah dan prinsip kompetensi.
Prinsip hak sejarah dilatari oleh keyakinan bahwa militer telah berkorban dan berperan besar dalam pembentukan bangsa dan mempertahankan keutuhan negara. Sementara prinsip kompetensi dilandasi keyakinan bahwa militer merupakan institusi terbaik yang dimiliki negara untuk mewujudkan kepentingan nasional.
Kedua, belum lengkapnya regulasi politik yang mengatur posisi TNI dan institusi sektor keamanan lainnya dalam konfigurasi politik nasional. UU TNI dan UU Pertahanan Negara, ke depan masih perlu disempurnakan. Regulasi politik yang lebih lengkap diharapkan dapat memperkuat implementasi prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas di seluruh sektor penyelenggara kebijakan Hankamnas yang vital dan strategis.
Ketiga, transformasi struktural TNI belum dipandang sebagai reformasi sektor keamanan negara secara menyeluruh. Reformasi TNI, tentu tak sekadar bertujuan menata ulang hubungan sipil-militer. Dalam jangka panjang, harus efektif dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, kinerja dan kontrol demokratis, berlangsungnya good governance dalam sistem pertahanan, serta memperkuat otoritas pemerintahan sipil.
Keempat, masih terpragmentasinya sikap dan komitmen politisi sipil dalam mendukung reformasi TNI (kerap terjebak untuk menarik kembali TNI masuk ke dalam ranah politik). Seperti terungkap dalam wacana penggunaan hak pilih TNI serta mendorong kebijakan politik, menyiapkan regulasi, dan dukungan anggaran operasional yang memadai di sektor hankam, guna mewujudkan TNI yang profesional, tangguh, modern, dan dedikatif.
Kelima, dukungan sarana pendidikan dan pelatihan TNI, termasuk dukungan pengembangan industri strategis pendukung pertahanan nasional.
Keenam, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. Sulit bagi kita untuk bermimpi memiliki TNI yang profesional, dedikatif, tangguh, pantang menyerah, serta mampu menjaga kedaulatan dan kehormatan negara dari segala ancaman, tanpa dukungan kesejahteraan bagi prajurit TNI dan keluarganya.
Kita berharap, di bawah kepemimpinan Laksamana Agus Suhartono, keenam isu di atas dapat segera ditutaskan guna merampungkan agenda reformasi TNI.
Namun sekali lagi, sulit bagi kita berharap profesionalisme TNI dapat terwujud di tengah kebisingan politik nasional, suburnya kekerasan massa, maraknya konflik horisontal, kelangkaan anggaran, alutsista yang uzur, dan minimnya kesejahteraan prajurit.
Yang pasti, sebagai bangsa pejuang kita tetap optimis di antara kondisi bangsa yang akut itu, TNI dapat terus melanjutkan reformasi internalnya. Mewujudkan jati dirinya sebagai tentara rakyat, prajurit pejuang, dan militer profesional. Dirgahayu TNI!
* Kepala Divisi Riset KPMJ, dosen FISIP USNI Jakarta
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda