REFORMASI PERTAHANAN
Untuk mewujudkan bangun kekuatan menghadapi ancaman nonmiliter itu, dasar bangun kekuatannya berada di Pasal 9 Undang-Undang 3/2002 yang mengatur hak dan kewajiban bela negara bagi seluruh warga negara. Dengan memadukan kualitas bela negara warga negara, resultante hasil yang dipadukan dengan kekuatan militer, menjadi kekuatan diplomasi.
Konstelasi Geografi dan Kesadaran Bela Negara sebagai Landasan Pembangunan Kapabilitas Pertahanan Negara
Seperti dikemukakan di atas unsur kedaulatan dan keutuhan wilayah menjadi bagian dari kepentingan pertahanan negara. Penguasaan geografi secara utuh sesuai dengan sifat, bentuk dan dinamikanya akan menjamin kedaulatan yang utuh pula. Dengan kata lain dalam mengimplementasikan kedaulatan mewujudkan hakekat kepentingan pertahanan negara mendukung kepentingan nasional, harus dilandasi pemahaman tentang realita kondisi geografis, agar kapabilitas pertahanan menghadapi ancaman mendapatkan pijakan kuat.
Sebagai negara kepulauan dengan 80 % wilayah laut dan 20 % wilayah darat, ancaman terhadap kedaulatan dan wilayah Indonesia berada di laut. Persentase ancaman ini menjadi semakin tinggi karena posisi geografi Indonesia berada dalam lalu lintas perdagangan dunia. Setiap hari ratusan bahkan mungkin ribuan kapal baik kapal dagang maupun militer melintas di perairan Indonesia melalui empat SLOC. Mengingat berbagai kepentingan nasional dari negara masing-masing kapal itu, sangat dimungkinkan mereka melakukan kegiatan intelejen atau bahkan "sekedar" mencuri ikan, tanpa dapat terdeteksi oleh kemampuan pertahanan dan keamanan laut. Dihadapkan pada fakta bahwa wilayah laut adalah wilayah terbuka, maka dengan leluasa kekayaan laut Indonesia dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindunginya.
Ironisnya, luas laut itu mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, yang menunjukkan gambaran semakin lemahnya kapabilitas pertahanan dan pengamanan laut Indonesia. Sudah seharusnya luas 200 mil laut dari titik terluar pulau terluar sebagai penguasaan pengelolaan ekonomi menjadi tambahan kedaulatan ekonomi, sehingga kapabilitas pertahanan harus dibangun mencakup keluasan itu.
Dari gambaran potensi ancaman demikian itu pengembangan kapabilitas pertahanan bahari harus menjadi acuan. Jika terjadi sebaliknya, maka “nostalgia” pengembangan perkuatan pertahanan pendekatan kontinental, mengakibatkan kapabilitas pertahanan negara hanya sebesar 20 %. Konsekwensinya wilayah kedaulatan yang menjadi landasan utama dalam menjabarkan pembangunan kapabilitas pertahanan Indonesia menjadi sempit. Wilayah laut yang mencapai 80 % justru tidak mendapatkan perhatian secara memadai.
Secara yuridis, Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang 3/2002 telah mengatur bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Permasalahannya adalah bahwa landasan yuridis ini tidak diimplementasikan sebagai kerangka landasan pemikiran dalam melaksanakan reformasi pertahanan. Hal ini disebabkan belum adanya kesamaan pemahaman di antara stake holder pertahanan, termasuk warga negara dan politisi tentang implementasinya.
Sementara di sisi lain, di era globalisasi, menciptakan strategi perubahan multi dimensional modern tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh batas negara, melainkan alasan keinginan – dan kebutuhan – untuk melayani pasar yang atraktif di mana saja dan untuk memanfaatkan potensi sumber daya di manapun. Batas negara secara ekonomis menjadi kabur akibat leluasanya investasi dapat menjangkau seluruh dunia, sehingga kehidupan antar bangsa mengarah pada homo homini lupus. Bangsa yang lemah menjadi "sapi perah" dengan kedok investasi..
Dalam kondisi demikian itu sisa kedaulatan yang bisa mempertahankan eksistensi negara adalah kedaulatan individu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya reformasi pertahanan menuju kapabilitasnya harus diawali penyadaran semua pihak terhadap perkuatan kesadaran bela negara sebagai hak dan kewajibannya. Dengan landasan kesadaran bela negara dari seluruh warga negara, seluruh sumber daya nasional dan semua komponen bangsa akan menyadari pentingnya pembangunan kapabilitas pertahanan. Kesadaran bela negara akan menjadi kunci perkuatan unsur lain kekuatan bangsa yang bersultante dengan kekuatan militer yang sesuai dengan kondisi kewilayahannya, menjadi kekuatan diplomasi yang handal dan faktual. Inilah seharusnya busur reformasi pertahanan diarahkan.
Menuju Kapabilitas Pertahanan Negara yang Murah Meriah
Reformasi pertahanan yang semata-mata penarikan pendulum dari sepak terjang tentara pada masa Orde Baru, mengakibatkan pandangan pembangunan kapabilitas pertahanan menjadi sangat mahal. Dalam konteks ini reformasi dipandang sebagai pengembalian fungsi pertahanan ke dalam relnya, steril dari berbagai fungsi yang lain, mengabaikan kapabilitas strategisnya sebagai “munisi” diplomasi. Hal ini terjadi karena reformasi pertahanan dihantui oleh rasa dendam, rasa rendah diri yang berlebihan, sehingga menimbulkan hujatan menghancurkan kapabilitas strategis pertahanan negara itu. Reformasi pertahanan demikian itu mengakibatkan setiap rupiah yang dikeluarkan menjadi tidak memiliki arti, karena dilandasi kecurigaan.
Dihadapkan dengan dua dimensi ancaman, upaya membangun kapabilitas pertahanan kemudian diwarnai perdebatan, sikap dan bahkan sepak terjang tidak efektif, yang justru menguras seluruh sumber daya termasuk wawasannya dalam sistem pertahanan negara yang semata-mata menghadapi ancaman militer. Ironisnya selalu dikatakan bahwa ancaman dan agresi militer negara lain terhadap Indonesia diperkirakan kecil kemungkinannya.
Bisa jadi hal itu benar; tetapi dalam konteks kekuatan militer sebagai bagian dari bangun kekuatan diplomasi menjadi terabaikan. Pilar kekuatan diplomasi mencakup kekuatan pengelolaan sumber daya nasional mewujudkan kesejahteraan dan keamanan negara. Kekuatan diplomasi adalah resultante dari tingkat kesejahteraan dalam arti luasa dan kekuatan dalam menjaga keamanan negara dan kepentingan nasional.
Kekuatan diplomasi ini menjadi komponen penting dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Sementara ancaman nonmiliter tidak mendapatkan sentuhan yang memadai untuk dibangun kapabilitasnya. Sense of defence yang turunannya adalah state defence awareness (kesadaran bela negara) tidak melekat pada setiap warga negara dari grass root sampai elit.
State defence awareness, yang pada dasarnya adalah resultante dari tingkat kesejahteraan dan kemampuan dalam memelihara kekuatan dalam menjaga keamanan luntur, karena adanya dikotomi yang tidak tersatukan antara dimensi pembentuknya itu. Dikaitkan dengan reformasi dewasa ini terdapat kesan bahwa dikotomi ini mengkristal, karena kesalahan landasan gerak reformasi yang hanya ditarik dari pendulum sepak terjang tentara di masa lalu. Sebagai akibat kondisi ini, maka reformasi sektor pertahanan tidak berada pada relnya. Para pengambil keputusan politik yang menjadi garda depan reformasi hanya memahami pertahanan sebagai kepentingan tentara bukan kepentingan seluruh warga negara.
Tidak dipahami bahwa seluruh sektor memiliki mandala ancaman, sehingga alokasi sumber daya termasuk anggaran untuk pertahanan hanya terfokus pada tentara khususnya alat utama sistem senjata (Alutsista). Harus disadari menghadapi ancaman nonmiliter bukan sistem teknologi (Sistek) berupa Alutsista untuk menghadapinya, tetapi justru sistem sosial (Sissos) yang berujung pada kekuatan diplomasi.
Sissos dimaksud tidak tidak dalam kerangka pembinaan teritorial semata. Sissos dalam pembinaan teritorial hanya menuju pada semata-mata kesiapan mental warga negara menghadapi perang gerilya konvensional. Hal ini jelas tidak akan mengenai sasaran karena gerilya di era globalisasi adalah “gerilya legal” yang diakui sebagai kebiasaan kehidupan antar bangsa, yang disebut Kenichi Ohmae sebagai investasi, industri, informasi dan individu yang muaranya adalah nilai.
Gerilya gaya baru ini tidak dapat dihadapi dengan perkuatan sektor pertahanan yang hanya memandang reformasi pertahanan adalah reformasi tentara semata. Reformasi seperti itu menafikan pengertian pertahanan sebagai bagian dari reformasi unsur lain kekuatan bangsa yang mengarah kepada terwujudnya kekuatan diplomasi, menghadapi ancaman nonmiliter.
Dalam hal ini meskipun peran kekuatan militer hanya sebatas mendukung kekuatan diplomasi, tetapi dukungan itu bersifat strategis. Peran strategis militer sebagai bagian dari sistem pertahanan negara adalah bagaikan “munisi” diplomasi sektor lain yang lebih esensial dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu revitalisasi perkuatan kapabilitas pertahanan dilakukan dengan menguatkan jasa militer khususnya dan pertahanan umumnya, dari semula ke dalam bahkan ada yang “tergelincir” ke “partikelir”, divitalkan kembali jasanya dengan mengangkat perannya sebagai elemen penting kekuatan diplomasi dalam pergaulan antar bangsa.
Revitalisasi peran ini tidak mungkin terjadi jika baik pengambil kebijakan politik, pengguna, dan pelaksana peran pertahanan, serta seluruh warga negara tidak menyadari bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawabnya. Dari sektor hulu pengambil keputusan politik pertahanan sampai dengan hilir pelaksana pertahanan dan bahkan penikmat jasa pertahanan yakni seluruh warga negara, harus memiliki sense of defence. Hal ini dilandasi oleh “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Bunyi Pasal 27 ini dalam Undang Undang Dasar 1945 tidak berada dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara tetapi berada dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk.
Jika Pasal ini dihayati, keputusan politik yang dihasilkan, penggunaan yang dilakukan, dan pelaksanaan peran pertahanan adalah bagian dari tanggungjawab seluruh warga negara, sehingga tidak ada kata mahal dan murah. Sepanjang pertahanan menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memang demikianlah halnya, berapapun anggaran yang dibutuhkan akan dipenuhi. Hal ini disadari karena harga yang harus dibayar untuk membangun pertahanan yang kuat sangat setimpal. Harga yang harus dibayar tidak dipandang semata-mata untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk memperkuat peran pertahanan sebagai elemen kekuatan diplomasi yang handal.
Permasalahannya kemudian adalah keberimbangan dukungan, sehingga tugas-tugas yang semula dianggap sebagai tugas militer dapat diberdayai dan diemban tugasnya oleh sektor-sektor lain secara proporsional. Dalam kerangka ini, maka sektor pembinaan potensi pertahanan harus mendapatkan porsinya secara wajar. Sumber daya nasional sebagai potensi pertahanan dan pembentuk satuan unsur lain kekuatan bangsa, dibina dan dipersiapkan ke arah :
a. transformasi ke dalam kekuatan pertahanan, guna meningkatkan efek penggentar (deterence effect), dan
b. penyiapannya sebagai elemen kekuatan bersama kekuatan militer, dalam bangun sistem kekuatan diplomasi menghadapi ancaman nonmiliter.
Dengan demikian pembinaan potensi pertahanan secara proporsional akan berdimensi ganda. Dimensi pertama mengaksentuasi perkuatan militer menghadapi ancaman militer, dan dimensi kedua mengintegrasikan unsur lain kekuatan bangsa ke dalam kapabilitas sistem pertahanan negara dalam bentuk kekuatan diplomasi, menghadapi ancaman nonmiliter. Dengan pandang dua dimensi ini, maka terdapat aksentuasi kuat kebutuhan pertahanan, yang dalam segi anggaran akan menguatkan kesejajaran fungsi pertahanan layaknya fungsi pemerintah yang lain.
Epilog
Bahwa reformasi pertahanan harus ditempatkan dalam kerangka reformasi nasional. Reformasi pertahanan demikian itu menempatkan pembangunan kekuatan pertahanan bukan untuk semata-mata kepentingan pertahanan ansich, atau bahkan semata-mata untuk kepentingan militer ansich, tetapi untuk kekuatan nasional yang dikaitkan dengan pembangunan unsur lain kekuatan bangsa beresultante menjadi kekuatan diplomasi.
Agar hal itu bisa terwujud, reformasi pertahanan dalam sektor pembangunan kekuatan militer harus dikembalikan kepada konstelasi wilayah atau geografi. Tanpa itu potensi geopolitik Indonesia sebagai kapabilitas dasar diplomasi tidak memiliki arti. Melatarbelakangi hal itu, unsur lain kekuatan bangsa dibangun dalam arah terwujudnya kesadaran bela negara setiap warga negara. Hal ini diperlukan untuk mendorong pemahaman warga negara tentang perlunya pertahanan sebagai kekuatan menghadapi ancaman nonmiliter yang berujung pada kekuatan diplomasi. Peran kekuatan diplomasi ini menjadi kekuatan strategis dalam pergaulan antar bangsa yang sudah menafikan batas geografi negara, karena kecenderungan keterbukaan di era globalisasi ini digerakkan oleh nilai-nilai ekonomi.
Mengawali hal itu, seluruh komponen bangsa harus paham benar dimensi ancaman strategis kehidupan kebangsaan secara keseluruhan. Ancaman itu sudah dirumuskan sebagai ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Namun dalam konteks itu rumusan yang benar tenyata masih belum diikuti oleh implementasi atau pemahaman substansi pertahanan secara benar. Hal ini timbul karena pembangunan kekuatan pertahanan masih hanya dipersepsikan untuk menghadapi ancaman militer semata.
Di sisi lain wawasan pertahanan warga negara masih belum memadai untuk dapat mendukung pembangunan kapabilitas pertahanan yang proporsional sesuai perannya sebagai elemen kekuatan diplomasi. Mengkristalnya tentara dalam fungsi pertahanan semata membawa konsekwensi kekosongan perkuatan di wilayah-wilayah yang ditinggalkan tentara. Tidak berarti kekosongan ketrampilan teknis, tetapi kekosongan cara pandang pertahanan yang memiliki peran besar dalam kecenderungan kekuatan dalam pergaulan antar bangsa dewasa ini, yakni kekuatan diplomasi.
Kekosongan itu dapat diisi jika setiap warga negara memiliki sense of defence, yang berujung pada state defence awareness. Jika ini dapat dicapai dari tingkat akar rumput sampai dengan elit, maka berbicara pertahanan tidak mengenal murah dan mahal, yang ada adalah penting dan tidak sebatas retorika. Demikian juga pembangunan kapabilitasnya tidak terfokus hanya Alutsista, tapi juga sumber daya pertahanan lain yang tidak kalah besar ancaman yang dihadapinya, yakni ancaman nonmiliter. Pembangunan kapabilitas pertahanan menghadapi ancaman nonmiliter diarahkan pada kekuatan diplomasi. Dengan dukungan kapabilitas militer yang handal, diplomasi menjadi sarana jalan pre-emptive strike terhadap ancaman nonmiliter, yang bekerja melalui tampilan deterence effect. Dengan demikian kekuatan diplomasi adalah harga setimpal, sehingga kapabilitas yang dibangun menjadi murah. Di sisi lain, dukungan meluas seluruh warga negara yang sadar bela negara terhadap kapabilitas pertahanan sebagai elemen kekuatan diplomasi, menjadi perwujudan kesemestaan pertahanan negara yang lebih canggih sekaligus meriah.
Konstelasi Geografi dan Kesadaran Bela Negara sebagai Landasan Pembangunan Kapabilitas Pertahanan Negara
Seperti dikemukakan di atas unsur kedaulatan dan keutuhan wilayah menjadi bagian dari kepentingan pertahanan negara. Penguasaan geografi secara utuh sesuai dengan sifat, bentuk dan dinamikanya akan menjamin kedaulatan yang utuh pula. Dengan kata lain dalam mengimplementasikan kedaulatan mewujudkan hakekat kepentingan pertahanan negara mendukung kepentingan nasional, harus dilandasi pemahaman tentang realita kondisi geografis, agar kapabilitas pertahanan menghadapi ancaman mendapatkan pijakan kuat.
Sebagai negara kepulauan dengan 80 % wilayah laut dan 20 % wilayah darat, ancaman terhadap kedaulatan dan wilayah Indonesia berada di laut. Persentase ancaman ini menjadi semakin tinggi karena posisi geografi Indonesia berada dalam lalu lintas perdagangan dunia. Setiap hari ratusan bahkan mungkin ribuan kapal baik kapal dagang maupun militer melintas di perairan Indonesia melalui empat SLOC. Mengingat berbagai kepentingan nasional dari negara masing-masing kapal itu, sangat dimungkinkan mereka melakukan kegiatan intelejen atau bahkan "sekedar" mencuri ikan, tanpa dapat terdeteksi oleh kemampuan pertahanan dan keamanan laut. Dihadapkan pada fakta bahwa wilayah laut adalah wilayah terbuka, maka dengan leluasa kekayaan laut Indonesia dimanfaatkan bangsa lain tanpa ada kemampuan untuk melindunginya.
Ironisnya, luas laut itu mencakup Zona Ekonomi Eksklusif, yang menunjukkan gambaran semakin lemahnya kapabilitas pertahanan dan pengamanan laut Indonesia. Sudah seharusnya luas 200 mil laut dari titik terluar pulau terluar sebagai penguasaan pengelolaan ekonomi menjadi tambahan kedaulatan ekonomi, sehingga kapabilitas pertahanan harus dibangun mencakup keluasan itu.
Dari gambaran potensi ancaman demikian itu pengembangan kapabilitas pertahanan bahari harus menjadi acuan. Jika terjadi sebaliknya, maka “nostalgia” pengembangan perkuatan pertahanan pendekatan kontinental, mengakibatkan kapabilitas pertahanan negara hanya sebesar 20 %. Konsekwensinya wilayah kedaulatan yang menjadi landasan utama dalam menjabarkan pembangunan kapabilitas pertahanan Indonesia menjadi sempit. Wilayah laut yang mencapai 80 % justru tidak mendapatkan perhatian secara memadai.
Secara yuridis, Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang 3/2002 telah mengatur bahwa pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Permasalahannya adalah bahwa landasan yuridis ini tidak diimplementasikan sebagai kerangka landasan pemikiran dalam melaksanakan reformasi pertahanan. Hal ini disebabkan belum adanya kesamaan pemahaman di antara stake holder pertahanan, termasuk warga negara dan politisi tentang implementasinya.
Sementara di sisi lain, di era globalisasi, menciptakan strategi perubahan multi dimensional modern tidak lagi dibentuk dan dikondisikan oleh batas negara, melainkan alasan keinginan – dan kebutuhan – untuk melayani pasar yang atraktif di mana saja dan untuk memanfaatkan potensi sumber daya di manapun. Batas negara secara ekonomis menjadi kabur akibat leluasanya investasi dapat menjangkau seluruh dunia, sehingga kehidupan antar bangsa mengarah pada homo homini lupus. Bangsa yang lemah menjadi "sapi perah" dengan kedok investasi..
Dalam kondisi demikian itu sisa kedaulatan yang bisa mempertahankan eksistensi negara adalah kedaulatan individu. Oleh sebab itu, sudah seharusnya reformasi pertahanan menuju kapabilitasnya harus diawali penyadaran semua pihak terhadap perkuatan kesadaran bela negara sebagai hak dan kewajibannya. Dengan landasan kesadaran bela negara dari seluruh warga negara, seluruh sumber daya nasional dan semua komponen bangsa akan menyadari pentingnya pembangunan kapabilitas pertahanan. Kesadaran bela negara akan menjadi kunci perkuatan unsur lain kekuatan bangsa yang bersultante dengan kekuatan militer yang sesuai dengan kondisi kewilayahannya, menjadi kekuatan diplomasi yang handal dan faktual. Inilah seharusnya busur reformasi pertahanan diarahkan.
Menuju Kapabilitas Pertahanan Negara yang Murah Meriah
Reformasi pertahanan yang semata-mata penarikan pendulum dari sepak terjang tentara pada masa Orde Baru, mengakibatkan pandangan pembangunan kapabilitas pertahanan menjadi sangat mahal. Dalam konteks ini reformasi dipandang sebagai pengembalian fungsi pertahanan ke dalam relnya, steril dari berbagai fungsi yang lain, mengabaikan kapabilitas strategisnya sebagai “munisi” diplomasi. Hal ini terjadi karena reformasi pertahanan dihantui oleh rasa dendam, rasa rendah diri yang berlebihan, sehingga menimbulkan hujatan menghancurkan kapabilitas strategis pertahanan negara itu. Reformasi pertahanan demikian itu mengakibatkan setiap rupiah yang dikeluarkan menjadi tidak memiliki arti, karena dilandasi kecurigaan.
Dihadapkan dengan dua dimensi ancaman, upaya membangun kapabilitas pertahanan kemudian diwarnai perdebatan, sikap dan bahkan sepak terjang tidak efektif, yang justru menguras seluruh sumber daya termasuk wawasannya dalam sistem pertahanan negara yang semata-mata menghadapi ancaman militer. Ironisnya selalu dikatakan bahwa ancaman dan agresi militer negara lain terhadap Indonesia diperkirakan kecil kemungkinannya.
Bisa jadi hal itu benar; tetapi dalam konteks kekuatan militer sebagai bagian dari bangun kekuatan diplomasi menjadi terabaikan. Pilar kekuatan diplomasi mencakup kekuatan pengelolaan sumber daya nasional mewujudkan kesejahteraan dan keamanan negara. Kekuatan diplomasi adalah resultante dari tingkat kesejahteraan dalam arti luasa dan kekuatan dalam menjaga keamanan negara dan kepentingan nasional.
Kekuatan diplomasi ini menjadi komponen penting dalam menghadapi ancaman nonmiliter. Sementara ancaman nonmiliter tidak mendapatkan sentuhan yang memadai untuk dibangun kapabilitasnya. Sense of defence yang turunannya adalah state defence awareness (kesadaran bela negara) tidak melekat pada setiap warga negara dari grass root sampai elit.
State defence awareness, yang pada dasarnya adalah resultante dari tingkat kesejahteraan dan kemampuan dalam memelihara kekuatan dalam menjaga keamanan luntur, karena adanya dikotomi yang tidak tersatukan antara dimensi pembentuknya itu. Dikaitkan dengan reformasi dewasa ini terdapat kesan bahwa dikotomi ini mengkristal, karena kesalahan landasan gerak reformasi yang hanya ditarik dari pendulum sepak terjang tentara di masa lalu. Sebagai akibat kondisi ini, maka reformasi sektor pertahanan tidak berada pada relnya. Para pengambil keputusan politik yang menjadi garda depan reformasi hanya memahami pertahanan sebagai kepentingan tentara bukan kepentingan seluruh warga negara.
Tidak dipahami bahwa seluruh sektor memiliki mandala ancaman, sehingga alokasi sumber daya termasuk anggaran untuk pertahanan hanya terfokus pada tentara khususnya alat utama sistem senjata (Alutsista). Harus disadari menghadapi ancaman nonmiliter bukan sistem teknologi (Sistek) berupa Alutsista untuk menghadapinya, tetapi justru sistem sosial (Sissos) yang berujung pada kekuatan diplomasi.
Sissos dimaksud tidak tidak dalam kerangka pembinaan teritorial semata. Sissos dalam pembinaan teritorial hanya menuju pada semata-mata kesiapan mental warga negara menghadapi perang gerilya konvensional. Hal ini jelas tidak akan mengenai sasaran karena gerilya di era globalisasi adalah “gerilya legal” yang diakui sebagai kebiasaan kehidupan antar bangsa, yang disebut Kenichi Ohmae sebagai investasi, industri, informasi dan individu yang muaranya adalah nilai.
Gerilya gaya baru ini tidak dapat dihadapi dengan perkuatan sektor pertahanan yang hanya memandang reformasi pertahanan adalah reformasi tentara semata. Reformasi seperti itu menafikan pengertian pertahanan sebagai bagian dari reformasi unsur lain kekuatan bangsa yang mengarah kepada terwujudnya kekuatan diplomasi, menghadapi ancaman nonmiliter.
Dalam hal ini meskipun peran kekuatan militer hanya sebatas mendukung kekuatan diplomasi, tetapi dukungan itu bersifat strategis. Peran strategis militer sebagai bagian dari sistem pertahanan negara adalah bagaikan “munisi” diplomasi sektor lain yang lebih esensial dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu revitalisasi perkuatan kapabilitas pertahanan dilakukan dengan menguatkan jasa militer khususnya dan pertahanan umumnya, dari semula ke dalam bahkan ada yang “tergelincir” ke “partikelir”, divitalkan kembali jasanya dengan mengangkat perannya sebagai elemen penting kekuatan diplomasi dalam pergaulan antar bangsa.
Revitalisasi peran ini tidak mungkin terjadi jika baik pengambil kebijakan politik, pengguna, dan pelaksana peran pertahanan, serta seluruh warga negara tidak menyadari bahwa pertahanan negara adalah tanggung jawabnya. Dari sektor hulu pengambil keputusan politik pertahanan sampai dengan hilir pelaksana pertahanan dan bahkan penikmat jasa pertahanan yakni seluruh warga negara, harus memiliki sense of defence. Hal ini dilandasi oleh “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Bunyi Pasal 27 ini dalam Undang Undang Dasar 1945 tidak berada dalam Bab XII tentang Pertahanan Negara tetapi berada dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk.
Jika Pasal ini dihayati, keputusan politik yang dihasilkan, penggunaan yang dilakukan, dan pelaksanaan peran pertahanan adalah bagian dari tanggungjawab seluruh warga negara, sehingga tidak ada kata mahal dan murah. Sepanjang pertahanan menyangkut kepentingan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan memang demikianlah halnya, berapapun anggaran yang dibutuhkan akan dipenuhi. Hal ini disadari karena harga yang harus dibayar untuk membangun pertahanan yang kuat sangat setimpal. Harga yang harus dibayar tidak dipandang semata-mata untuk kepentingan militer, tetapi juga untuk memperkuat peran pertahanan sebagai elemen kekuatan diplomasi yang handal.
Permasalahannya kemudian adalah keberimbangan dukungan, sehingga tugas-tugas yang semula dianggap sebagai tugas militer dapat diberdayai dan diemban tugasnya oleh sektor-sektor lain secara proporsional. Dalam kerangka ini, maka sektor pembinaan potensi pertahanan harus mendapatkan porsinya secara wajar. Sumber daya nasional sebagai potensi pertahanan dan pembentuk satuan unsur lain kekuatan bangsa, dibina dan dipersiapkan ke arah :
a. transformasi ke dalam kekuatan pertahanan, guna meningkatkan efek penggentar (deterence effect), dan
b. penyiapannya sebagai elemen kekuatan bersama kekuatan militer, dalam bangun sistem kekuatan diplomasi menghadapi ancaman nonmiliter.
Dengan demikian pembinaan potensi pertahanan secara proporsional akan berdimensi ganda. Dimensi pertama mengaksentuasi perkuatan militer menghadapi ancaman militer, dan dimensi kedua mengintegrasikan unsur lain kekuatan bangsa ke dalam kapabilitas sistem pertahanan negara dalam bentuk kekuatan diplomasi, menghadapi ancaman nonmiliter. Dengan pandang dua dimensi ini, maka terdapat aksentuasi kuat kebutuhan pertahanan, yang dalam segi anggaran akan menguatkan kesejajaran fungsi pertahanan layaknya fungsi pemerintah yang lain.
Epilog
Bahwa reformasi pertahanan harus ditempatkan dalam kerangka reformasi nasional. Reformasi pertahanan demikian itu menempatkan pembangunan kekuatan pertahanan bukan untuk semata-mata kepentingan pertahanan ansich, atau bahkan semata-mata untuk kepentingan militer ansich, tetapi untuk kekuatan nasional yang dikaitkan dengan pembangunan unsur lain kekuatan bangsa beresultante menjadi kekuatan diplomasi.
Agar hal itu bisa terwujud, reformasi pertahanan dalam sektor pembangunan kekuatan militer harus dikembalikan kepada konstelasi wilayah atau geografi. Tanpa itu potensi geopolitik Indonesia sebagai kapabilitas dasar diplomasi tidak memiliki arti. Melatarbelakangi hal itu, unsur lain kekuatan bangsa dibangun dalam arah terwujudnya kesadaran bela negara setiap warga negara. Hal ini diperlukan untuk mendorong pemahaman warga negara tentang perlunya pertahanan sebagai kekuatan menghadapi ancaman nonmiliter yang berujung pada kekuatan diplomasi. Peran kekuatan diplomasi ini menjadi kekuatan strategis dalam pergaulan antar bangsa yang sudah menafikan batas geografi negara, karena kecenderungan keterbukaan di era globalisasi ini digerakkan oleh nilai-nilai ekonomi.
Mengawali hal itu, seluruh komponen bangsa harus paham benar dimensi ancaman strategis kehidupan kebangsaan secara keseluruhan. Ancaman itu sudah dirumuskan sebagai ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Namun dalam konteks itu rumusan yang benar tenyata masih belum diikuti oleh implementasi atau pemahaman substansi pertahanan secara benar. Hal ini timbul karena pembangunan kekuatan pertahanan masih hanya dipersepsikan untuk menghadapi ancaman militer semata.
Di sisi lain wawasan pertahanan warga negara masih belum memadai untuk dapat mendukung pembangunan kapabilitas pertahanan yang proporsional sesuai perannya sebagai elemen kekuatan diplomasi. Mengkristalnya tentara dalam fungsi pertahanan semata membawa konsekwensi kekosongan perkuatan di wilayah-wilayah yang ditinggalkan tentara. Tidak berarti kekosongan ketrampilan teknis, tetapi kekosongan cara pandang pertahanan yang memiliki peran besar dalam kecenderungan kekuatan dalam pergaulan antar bangsa dewasa ini, yakni kekuatan diplomasi.
Kekosongan itu dapat diisi jika setiap warga negara memiliki sense of defence, yang berujung pada state defence awareness. Jika ini dapat dicapai dari tingkat akar rumput sampai dengan elit, maka berbicara pertahanan tidak mengenal murah dan mahal, yang ada adalah penting dan tidak sebatas retorika. Demikian juga pembangunan kapabilitasnya tidak terfokus hanya Alutsista, tapi juga sumber daya pertahanan lain yang tidak kalah besar ancaman yang dihadapinya, yakni ancaman nonmiliter. Pembangunan kapabilitas pertahanan menghadapi ancaman nonmiliter diarahkan pada kekuatan diplomasi. Dengan dukungan kapabilitas militer yang handal, diplomasi menjadi sarana jalan pre-emptive strike terhadap ancaman nonmiliter, yang bekerja melalui tampilan deterence effect. Dengan demikian kekuatan diplomasi adalah harga setimpal, sehingga kapabilitas yang dibangun menjadi murah. Di sisi lain, dukungan meluas seluruh warga negara yang sadar bela negara terhadap kapabilitas pertahanan sebagai elemen kekuatan diplomasi, menjadi perwujudan kesemestaan pertahanan negara yang lebih canggih sekaligus meriah.
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda