Menulis Mengurangi Stres
Bayangkan saja, setiap hari kita disuguhi berita yang membuat kepala
pusing, dada sesak. Hanya oleh seorang Gayus, lembaga dan para penegak
hukum di negeri ini dipermainkan dan dipermalukan. Dan di sana banyak
Gayus-Gayus lain yang belum atau tidak terungkap. Padahal tugas
pemerintah tidak sekadar mengalahkan Gayus, tapi juga mengalahkan
kemiskinan, pengangguran, dan berbagai ketertinggalan di bidang layanan
sosial. Kalau terhadap Gayus saja kedodoran, bagaimana menyelesaikan
tantangan dan kewajiban lain yang lebih besar dan mendesak? Menghadapi
luapan informasi yang sebagian besar tidak menyenangkan, ada teman yang
kemudian enggan membaca surat kabar dan nonton televisi.Tidak mengikuti
berita merasa ketinggalan. Kalau terus mengikuti, kepala tambah butek.
Karena itu, jadi politisi dan pejabat publik di negeri ini mesti kuat jantungnya, mesti lapang dada. Mesti pandai-pandai menemukan hiburan sebagai outlet atau ventilasi menyalurkan beban batin. Bagi saya, salah satunya melalui tulisan di media massa atau Twitter. Karena keduanya merupakan media publik, sebaiknya etika tetap dijaga dan senantiasa menebarkan semangat kritiskonstruktif. Saya belajar menulis sejak masih belajar di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Pernah dalam kurun waktu setahun kami diwajibkan oleh kiai menulis buku harian, mencatat peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan sehari-semalam.
Lalu setiap minggu ditugaskan menulis esai satu halaman. Semua itu diperiksa oleh kiai dan diberi komentar sehingga kami serius melakukannya. Dari situlah mulai tertanam kebiasaan untuk menulis, yang ternyata sangat berguna, terutama setelah duduk di bangku kuliah. Dengan membiasakan menulis, seseorang dipaksa untuk melakukan ekonomisasi kata dan kalimat dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan serta menerapkan gramatika yang benar karena akan dibaca oleh publik. Bayangkan saja, ketika menulis untuk rubrik majalah atau surat kabar, ruangnya terbatas sehingga dituntut untuk menyampaikan pikiran dengan singkat, benar, dan enak dibaca. Kebiasaan ini sangat perlu dilatihkan kepada para siswa di SMP dan SMU agar nanti ketika duduk di bangku kuliah menyenangi tugas riset dan menulis makalah ilmiah. Dari hasil pengamatan sekilas, pendidikan menulis di SMU menurun karena soal ujian terakhir yang akan dihadapi lebih banyak berupa pilihan ganda.
Di negara yang sudah maju seperti Amerika atau Jepang, misalnya, tradisi bacatulis para siswa sangat menonjol. Mereka terbiasa membaca novel tebal-tebal karena memang dianjurkan oleh sekolah. Ada pelajaran resensi buku untuk melatih daya kritis dan daya serap siswa. Juga ada proses reproduksi pemikiran. Ini sangat penting agar sejak dini para siswa terlatih berpikir kreatif-produktif, bukan hanya sebagai penerima dan penghafal pasif.(*)
******
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Opini Okezone 14 Januari 2011
Karena itu, jadi politisi dan pejabat publik di negeri ini mesti kuat jantungnya, mesti lapang dada. Mesti pandai-pandai menemukan hiburan sebagai outlet atau ventilasi menyalurkan beban batin. Bagi saya, salah satunya melalui tulisan di media massa atau Twitter. Karena keduanya merupakan media publik, sebaiknya etika tetap dijaga dan senantiasa menebarkan semangat kritiskonstruktif. Saya belajar menulis sejak masih belajar di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Pernah dalam kurun waktu setahun kami diwajibkan oleh kiai menulis buku harian, mencatat peristiwa-peristiwa penting yang dilakukan sehari-semalam.
Lalu setiap minggu ditugaskan menulis esai satu halaman. Semua itu diperiksa oleh kiai dan diberi komentar sehingga kami serius melakukannya. Dari situlah mulai tertanam kebiasaan untuk menulis, yang ternyata sangat berguna, terutama setelah duduk di bangku kuliah. Dengan membiasakan menulis, seseorang dipaksa untuk melakukan ekonomisasi kata dan kalimat dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan serta menerapkan gramatika yang benar karena akan dibaca oleh publik. Bayangkan saja, ketika menulis untuk rubrik majalah atau surat kabar, ruangnya terbatas sehingga dituntut untuk menyampaikan pikiran dengan singkat, benar, dan enak dibaca. Kebiasaan ini sangat perlu dilatihkan kepada para siswa di SMP dan SMU agar nanti ketika duduk di bangku kuliah menyenangi tugas riset dan menulis makalah ilmiah. Dari hasil pengamatan sekilas, pendidikan menulis di SMU menurun karena soal ujian terakhir yang akan dihadapi lebih banyak berupa pilihan ganda.
Di negara yang sudah maju seperti Amerika atau Jepang, misalnya, tradisi bacatulis para siswa sangat menonjol. Mereka terbiasa membaca novel tebal-tebal karena memang dianjurkan oleh sekolah. Ada pelajaran resensi buku untuk melatih daya kritis dan daya serap siswa. Juga ada proses reproduksi pemikiran. Ini sangat penting agar sejak dini para siswa terlatih berpikir kreatif-produktif, bukan hanya sebagai penerima dan penghafal pasif.(*)
******
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Opini Okezone 14 Januari 2011
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda