Gangguan terhadap peradaban terkait dengan rongrongan pada keyakinan
agama yang menjadi landasan keadaban. Pendapat itu tersirat dalam
tulisan-tulisan sejarawan Inggris
Arnold
Toynbee (1889—1975). Dengan kata lain, beda keyakinan agama yang
merusak hubungan antarumat beragama pada gilirannya akan merusak
landasan keadaban.
Dalam hal agama
Islam, sejumlah pemuka agama yang bijak dalam khotbah mereka sering mengatakan jangan menyangkut-pautkan terorisme dengan Islam. Anggapan terorisme dilakukan untuk membela Islam atau Allah, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Allah dan agama Islam bukan saja tidak memerlukan pembelaan, malahan sebaliknya, kekerasan tidak dibenarkan oleh Islam
atau agama lain mana pun. Layak bahwa Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono menganjurkan agar masyarakat jangan terprovokasi serangan
terhadap jemaat HKBP. Apakah tindak kekerasan itu murni kriminal?
Masyarakat mengharapkan pembuktian lebih lanjut.
Sikap PBNU yang akan menurunkan Barisan Ansor Serbaguna untuk
melindungi jemaat HKBP terasa menyejukkan; begitu pula sikap ormas
Muhammadiyah yang tidak mengingkari pluralisme. Bahwa
organisasi-organisasi Islam besar menunjukkan sikap sesuai dengan amanat konstitusi patut kita puji dan syukuri.
Namun, bukan pertama kali terjadi insiden yang merusak citra kerukunan
beragama. Membangun kerukunan antarumat beragama masih menjadi
tantangan bagi masyarakat negeri ini maupun bagi seluruh umat beragama
di mana-mana; suatu pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.
Menghadapi Korupsi dan Kemiskinan
Berita tewasnya Joni Malela setelah mengejar saweran
istana menjadi catatan tersendiri dalam kisah-kisah kemiskinan di Indonesia.
Di kutub sama, pengungkitan kembali kasus Bank Century menunjukkan
betapa sulitnya usaha memberantas korupsi. Bahwa ada kasus-kasus dari
dua serangkai penyakit sosial—korupsi dan kemiskinan—menerobos masuk ke
paruh terakhir
Ramadan, mudah-mudahan berhasil menyentak kesadaran kita tentang keseriusan masalah-masalah tersebut.
Ahli-ahli kemasyarakatan umumnya berpendapat,
problem sosial timbul karena lembaga-lembaga sosial kehilangan wibawa dan memang ada individu-individu yang ukuran
moral
dan sosialnya "kurang". Mereka tidak mampu atau tidak mau mengikuti
pola-pola normatif masyarakat. Contohnya: para koruptor. Korupsi yang
meliputi sogokan, pemerasan, dan nepotisme sudah ada sejak masa lampau.
Seluruh masyarakat mengenalnya dengan tingkat berbeda-beda, kecuali
yang primitif.
Tokoh terkenal dalam ajaran Islam, Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780—855),
misalnya, menentang keras korupsi. Dia sering dianiaya dan dipenjara
penguasa di zamannya karena memandang rendah jabatan hakim, yang waktu
itu menjadi sasaran sogokan. Dia juga selalu menolak "hadiah" dari raja.
Tokoh Islam lainnya, Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332—
1406), terkenal sebagai penentang korupsi. Ahli sejarah ini pernah
meringkuk dalam penjara karena ketika menjabat sebagai hakim berusaha
menghapuskan korupsi. Dia gagal dan dipecat dari jabatan.
Dilemanya, problem-problem sosial, seperti korupsi dan kemiskinan,
menjadi penghambat perkembangan keadaban yang diperlukan demi
terciptanya tertib sosial. Menurut hasil penelitian lembaga-lembaga
sosial internasional, sampai seperempat abad yang lalu, separuh penduduk
dunia hidup miskin, malahan seperempatnya hidup di bawah garis
kemiskinan. Indonesia termasuk kelompok penampung penduduk miskin
terbesar. Masalahnya terletak pada pemerataan hasil produksi. Sekarang,
dengan kemajuan teknologi dan perubahan sistem sosial-ekonomi, taraf
penghidupan umumnya meningkat, tetapi kesenjangan antara yang mampu dan
tidak mampu tetap luar biasa, apakah dinilai dari kesenjangan
antarnegara atau antarwarga masyarakat.
Sejak revolusi
industri di abad
ke-18, dunia Barat berubah pesat secara sosial, psiklologis, politik
maupun ekonomi. Nilai-nilai kemanusiaan ikut berubah sesuai dengan
perubahan gaya hidup akibat industrialisasi. Efek dominonya meluas ke
seluruh dunia. Keluarga, yang semula menjadi unit terpenting dalam
masyarakat, sekarang hanya bagian kecil dari struktur sosial.
Ikatan-ikatan kelompok yang semula demikian menentukan, kemudian lebur
dalam massa. Dalam abad ke-20—21, sekalipun kita memiliki kemampuan
menghapuskan kemiskinan, tetapi kita juga mampu melenyapkan eksistensi
kebersamaan. Persaingan memperburuk keadaan dan mengaburkan makna hak
asasi dan rasa kemanusiaan.
Menurut ekonom terkemuka dunia John K. Galbraith (1908—
2006), tiga perempat penduduk negara-negara berkembang umumnya tinggal
di daerah-daerah perdesaan. Kemelaratan justru mengakar kokoh di
perdesaan. Kenyataan tersebut tercermin pada hiruk-pikuk arus mudik dan
arus balik, yang tiap tahun menjadi masalah di masyarakat kita.
Galbraith beranggapan kemelaratan melemahkan motivasi untuk melawannya;
membuat yang bersangkutan malas untuk secara proaktif bekerja keras
mengentaskan diri. Mereka memilih jalan pintas, antara lain dengan
urbanisasi, mencari pekerjaan seadanya. Tugas paling penting kalangan
elite dan jajaran pimpinan adalah memerangi sikap semacam itu dan
mencarikan solusi bagi mereka. Harus ada kesadaran bahwa kemelaratan
bersifat destruktif dan tidak manusiawi. Seperti halnya korupsi,
penyakit sosial ini harus dimusnahkan bersama. Senjata paling ampuh
untuk itu adalah pendidikan. Sayangnya, kata Galbraith, sistem
pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya kurang menegaskan
perlunya peningkatan kualitas diri, dan tidak membuat orang bertekad
untuk melepaskan diri dari kemelaratan.
Demi kemaslahatan bersama, mudah-mudahan ke depan kita akan mampu
menghadapi tantangan-tantangan sosial mendesak seperti terpapar di atas,
termasuk usaha pemberantasan korupsi, menghapuskan kemiskinan,
meningkatkan pendidikan yang tepat dan menggalang kerukunan beragama
yang dibutuhkan untuk pengembangan keadaban.
Read more: http://artikel-media.blogspot.com/2010/09/mengupayakan-kerukunan-dan-keserasian_17.html#ixzz102LJMKe4