Membedah Kasus Wikileaks
Senjata makan tuan
Diteropong
dari sudut percaturan ideologi global, khususnya kiprah liberalisme
yang diusung Amerika Serikat atau Barat dan kini bermetamorfosis
menjadi neokolonialisme (istilah Bung Karno), tampaknya ideologi yang
cukup lama menguasai dunia ini sedang mengalami deklinasi cukup tajam.
Kemerosotan
tersebut justru diakibatkan kebebasan dan keterbukaan itu sendiri.
Kasus WikiLeaks merupakan buah kebebasan dan keterbukaan di bidang
informasi, sama halnya dengan kasus rontoknya perusahaan raksasa
Amerika Serikat, Lehman Brothers, diakibatkan oleh mekanisme pasar
bebas, kebebasan, dan keterbukaan di bidang ekonomi.
Dari
perspektif ideologi, kasus WikiLeaks merupakan senjata makan tuan
karena justru Amerika Serikat atau Baratlah yang mempromosikan
liberalisme serta demokrasi.
Kekuatan di belakang WikiLeaks?
Ditilik
dengan kacamata politik atau intelijen, siapa gerangan di belakang
Julian Assange dengan WikiLeaks-nya? Pria kelahiran
Townsville-Queensland, Australia, berusia 39 tahun itu pernah belajar
fisika dan matematika di Universitas Melbourne. Dia ahli komputer yang
menekuni masalah security network, khususnya menyangkut pemerintah dan
perusahaan-perusahaan besar seantero dunia.
Belakangan
dia sangat rajin memberikan ”khotbah” tentang ”demokrasi radikal” di
dunia maya. Assange pernah memublikasikan pembuangan limbah beracun di
Afrika, pernah pula dianugerahi Amnesty International Media Award atas
usahanya mengekspos pembunuhan ekstrayudisial di Kenya. Rangkaian data
ini menunjukkan dia seorang fundamentalis-radikalis demokrasi,
keadilan, dan lingkungan hidup.
Namun,
Youtube dan CNN telah merilis gambar markas WikiLeaks yang berada dalam
bungker di pegunungan dekat Stockholm, ibu kota Swedia. Terkesan bahwa
markas baru tersebut dibangun dengan biaya yang sangat besar.
Hal
ini mengindikasikan ada kekuatan finansial di belakang WikiLeaks
sehingga kemungkinan besar kasus ini tidak semata-mata dilatari
idealisme bahkan fundamentalisme demokrasi, tetapi bisa juga bermotif
politik atau ekonomi.
Dikaitkan
dengan kebijakan politik- ekonomi global Amerika, mungkin saja ada
keterlibatan kelompok fundamentalis, atau negara dan kekuatan swasta
tertentu. Walau terlalu dini disebut, Brasil, Rusia, India, dan China
(BRIC) adalah adidaya baru yang tentu berkepentingan dengan
maju-mundurnya Amerika Serikat.
Boleh
jadi pula hanya berkait dengan masalah politik domestik Amerika Serikat
yang bertujuan menjatuhkan Presiden Barack Obama. Perkiraan ini
didukung oleh fakta penangkapan seorang tentara Amerika yang diduga
memberikan dokumen rahasia tersebut kepada WikiLeaks.
Yang
jelas, kasus ini merupakan ”perang informasi” yang kian merebak dan
dimainkan dengan teknologi tinggi, kesan di permukaan terjadi antara
kelompok fundamentalis demokrasi melawan neokolonialisme.
Assange
membela diri dengan mengatakan bahwa tindakan membocorkan kawat
diplomatik dengan level kerahasiaan sangat tinggi merupakan misi
penting WikiLeaks untuk menghadirkan kejujuran dan transparansi global,
serta menguatkan peran media sebagai salah satu pilar demokrasi
masyarakat dunia.
Apa
pun alasan Assange, karena substansi yang dibocorkan adalah hal-hal
penting dan sangat rahasia, dampaknya bisa sangat negatif. Dokumen
rahasia antara Amerika Serikat dan sebuah negara di Eropa Timur yang
dipublikasikan dapat saja menyinggung kepentingan dan sensitivitas satu
atau lebih negara lainnya di kawasan tersebut dan menyulut potensi
konflik antarnegara.
Konteks Indonesia
Terkait
dengan Indonesia, WikiLeaks menengarai telah mengantongi lebih dari
3.000 dokumen rahasia atau laporan diplomatik Amerika Serikat yang
dikirim ke dan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta dan
konsulat jenderal di Surabaya.
Tiga
dokumen telah dirilis, antara lain mengungkapkan Program Pelatihan dan
Pendidikan Militer Internasional bagi Indonesia pascatragedi Santa Cruz
yang disebut-sebut melibatkan TNI/Kopassus, serta intervensi Amerika
Serikat dalam proses referendum Timor Timur pada 1999 yang bermuara
pada lepasnya wilayah itu dari Indonesia.
Memang
secara substantif fundamental dan strategis tak ada implikasi serius
atau konsekuensi destruktif terhadap keamanan nasional dan kepentingan
nasional kita. Isu-isu nasional yang telah dan mungkin akan
disingkapkan lagi sebenarnya bukan rahasia lagi alias sudah jadi
”rahasia umum”.
Tentang
G30S 1965, misalnya, sudah banyak buku yang mengupas tuntas dari
berbagai perspektif dan kepentingan. Atau, momentum kejatuhan Pak Harto
dengan berbagai versi terkait dengan kerusuhan sosial seputar peristiwa
tersebut juga telah dipublikasi dalam berbagai modus.
Hikmah
penting dari kasus ini adalah perlunya meninjau dan merevisi serta
memperketat sistem informasi intelijen, termasuk menata ulang dan
meningkatkan standardisasi pengiriman, penyimpanan, dan dokumentasi
data intelijen.
Kita
tak mungkin membendung dahsyatnya dampak kemajuan teknologi komunikasi
yang telah menghadirkan keefektifan, transparansi, dan aksesibilitas
yang tinggi. Kita pun tak mungkin terbebas dari upaya intervensi,
penetrasi, dan influensi kekuatan atau kepentingan asing.
Namun,
setidaknya kita masih memiliki ”ruang dalam” yang aman terlindungi dari
serbuan kepentingan asing, dengan mengetatkan sistem pengawasan dan
perlindungan informasi tingkat tinggi. Dalam perspektif jangka panjang,
diperlukan peningkatan kewaspadaan nasional, memperkuat kesadaran bela
negara, dan menempa mentalitas kebangsaan yang menjadikan setiap anak
bangsa sebagai ”agen republik” yang sejati.
KIKI SYAHNAKRI Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
Opini Kompas 14 Desember 2010
Komentar (0)
Tuliskan Komentar Anda